Cerita Dewasa Desahan Iparku Yang Meluap-Luap

Cerita Dewasa Desahan Iparku Yang Meluap-Luap

Cerita Dewasa Desahan Iparku Yang Meluap-Luap – Mendapatkan seorang pria yang menjadi impian semua wanita di seluruh kampung ku. aku menjadi istri seorang penjabat di kota kaya raya. bayangkan saja, suamiku memiliki puluhan hektar tanah di kampungku. sebelum ruko ruko di kontrak kan. tidak hanya di tempat kampungku tetapi ada juga di daerah lain yang tak terbayangkan di benakku, setiap hari aku tinggal di rumah besar dan mewah (setidaknya untuk ukuran di kampungku), naik mobil bagus keluaran terbaru.

Harihariku sebagai istri memang membahagiakan dan membanggakan. Temanteman gadisku banyak yang iri dengan kehidupanku yang serba enak. Meski aku sendiri tidak yakin dengan kebahagiaan yang kurasakan saat itu. Hati kecilku sering bertemu oleh yang sewaktuwaktu akan membuat risiko jatuh merana. Aku hanya satu-satunya wanita pendamping suamiku. Ia sudah beristri dengan beberapa anak. Mereka tinggal jauh di kota besar dan sama sekali tak pernah tahu keberadaanku sebagai madunya.

Ketika menikah pun aku sudah tahu akan statusnya ini. Aku, entah terpaksa atau memang mencintainya, memutuskan untuk menikah dengannya. Demikian pula dengan orang tuaku. Mereka malah sangat mengharapkan saya menjadi istri. Mungkin mereka mengharapkan kami akan berubah, derajat kami meningkat dan dilihat oleh semua orang kampung bila aku sudah menjadi istrinya. Mungkin memang nasibku untuk menjadi istri kedua, lagi pula mungkin akan bahagia dengan statusku ini.

Semua itu kurasakan setahun yang lalu. Begitu menginjak tahun kedua, barulah saya merasakan perubahan. Suamiku yang dulunya lebih sering berada di sisiku, kini mulai jarang muncul di rumah. Pertama seminggu sekali ia mengunjungiku, kemudian sebulan dan terakhir aku tak menghitung lagi berapa bulan sekali dia datang kepadaku untuk melepas rindu.

Aku tak berani menghubunginya. Aku takut semua itu malah akan membuat risiko lebih merana. Aku tak bisa membayangkan kalau istri pertama tahu keberadaanku. Pastinya akan marah besar dan mengadukanku ke pihak berwajib. Biarlah aku tanggung semua derita ini. Aku tak ingin orang tuaku terbawa sengsara oleh masalah kami. Mereka sudah hidup bahagia, memiliki rumah yang lebih besar, sawah dan peternakanternak piaraan mempersembahkan suamiku.

Hari hari yang kulalui semakin tidak menggairahkan. Aku berusaha untuk menyibukan diri dengan berbagai kerjaan agar tak merasa bosan ditinggal suami dalam waktu lama. Tetapi semua itu tidak membuat saya tenang. Hanya menjadi gelisah, terutama di malam hari. Aku selalu termenung sendiri di tempat tidur sampai larut malam mengantuk yang tak kunjung datang. Kurasakan sprei tempat tidurku begitu dingin, tidak seperti hari-hari awal pernikahan kami dulu. Sprei tempat tidurku tak pernah rapi, selalu acakacakan dan hangat setiap suasana hati tubuh kami yang selalu bersemangat. Di saatsat seperti inilah aku selalu merasakan yang mendalam, gelisah mendambakan hubungan seperti dulu. Rindu akan cumbuan hangat suamiku yang sepertinya tak pernah padam meski usianya mulai menua.

Kalau sudah terbayang semua itu, aku menjadi gelisah. Gelisah oleh perasaanku yang menggebugebu. Bahkan akhirakhir ini semakin membuat pusing. Membuatku uringuringan. Marah oleh sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti. Kegelisahan ini sering terbawa dalam mimpiku. Di luar sadarku, aku sering membayangkan cumbuan hangat suamiku. Bagaimana panasnya kecupan bibir suamiku di sekujur tubuhku. saya menggelinjang setiap kali menyentuh sentuhan, merasakan sentuhan lembut pada bagian tertentu saya. Aku tak mampu menahan diri. Akhirnya aku mencumbui diriku sendiri. Tangannku menggerayangkan ke seluruh tubuh sambil membayangkan semua itu milik suamiku. Pinggulku berputar pembohong gerakan jemari di sekitar pangkal pahaku. Pantatku terangkat tinggi menyambut desakan benda imajinasiku ke dalam diriku. Aku melenguh dan menikmati kenikmatan hingga akhirnya terkulai lemas di tempat yang sama dengan alam sadar bahwa semua itu merupakan kenikmatan semu. Air mataku jatuh bercucuran, meratapi nasibku yang tidak beruntung.

Pelarianku itu menjadi kebiasaan setiap sebelum tidur. Menjadi semacam suatu keharusan. Aku ketagihan. Sulit menghilangkan kebiasaan yang sudah menjadi kebutuhan bathinku. Aku tak tahu sampai kapan semua ini akan berakhir. Aku sudah bosan. Kecewa, marah, sedih dan entah apalagi yang ada dalam perasaan saat ini. Kepada siapa aku harus melampiaskan semua ini? Suamiku? Entah kapan aku datang lagi. Kepada orang tua? Apa yang bisa mereka perbuat? Oohh.. aku hanya bisa menangisi penderitaan ini.

Aku memang gadis kampung yang tak tahu keadaan. Aku tak pernah sadar bahwa keadaanku seharihari menarik perhatian seseorang. Aku baru tahu kemudian bahwa ternyata Kang Hendi, suami kakakku, mengikuti perkembanganku seharihari. Mereka memang tinggal di rumahku. Aku sengaja mengajak mereka tinggal bersama, karena rumahku cukup besar untuk menampung mereka bersama anak tunggalnya yang masih balita. Sekalian menemaniku yang hidup seornag diri.

Kasihan Neng Anna, temenin aja. Biar rumah kalian di sana dikontrakan saja demikian saran orang tuaku waktu itu.

Aku pun tak terima. Akhirnya mereka tinggal bersamaku. Semuanya berjalan normal saja. Tak ada permasalahan di antara kami semua, sampai suatu malam ketika aku sedang melakukan hal rutin terperanjat setengah mati saat kusadari ternyata aku tidak sedang bermimpi bercumbu dengan suamiku. Sebelum sadar, saya merasakan kenikmatan yang luar biasa sekali. Terasa lain dengan khayalanku selama ini. Apalagi ketika menempatkan payudaraku dijilat dan dihisaphisap dengan penuh gairah. Aku sampai mengerang saking nikmatnya. Rangsangan itu semakin hebat menguasai diriku. Kecupan itu semakin menggila, bergerak menelusuri perutku terus ke bawah menuju lembah yang ditumbuhi semak semak lebat di sekitar selangkanku. Saya hampir berteriak saking menikmatinya. Ini merupakan sesuatu yang baru, yang tak pernah dilakukan oleh suamiku. Bahkan dalam mimpipun, aku tak pernah membayangkan sampai sejauh itu. Di situlah aku baru tersadar. Terbangun dari mimipiku yang indah. Kubuka mataku dan melirik ke bawahku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mataku yang masih belum terbiasa dengan keadaan gelap ruangan kamar, melihat sesuatu yang bergerakgerak di bawah sana, di antara kedua pahaku yang terbuka lebar.

Aduh kenapa sih ini.. gumamku setengah sadar sambil menjulurkan tangan ke bawah sana.

Tanganku memegang sesuatu seperti rambut. Kurabaraba dan baru kutahu bahwa itu adalah kepala seseorang. aku kaget. Dengan refleksi aku bangun dan merapat ke ujung ranjang sambil mencoba melihat apa yang terjadi. Setelah terbiasa dengan bayangan, melihatnya di sana ternyata seseorang tengah berada di atas ranjang. Aku kaget begitu kutahu orang itu adalah Kang Hendi, kakak iparku!

Saking kagetnya, saya berteriak dengan tenaga. Tetapi aku tak mendengar suara teriakan itu. Kerongkonganku serasa tersekat. Hanya mulutku saja yang terbuka, menganga lebarlebar. Kedua mataku melotot seolah tak percaya apa yang hanya di hadapanku adalah Kang Hendi yang bertelan memakai cawat.

Kang Hendi menghampiri sambil mencoba agar jangan berteriak. Tubuhku semakin mepet ke ujung dinding. Takut, marah dan lain sebagainya bercampur aduk dalam dihatiku melihat kehadirannya di kamarku dalam keadaan seperti itu.

Kang! Lagi apa..? hanya itu yang keluar dari mulutku sementara tanganku sibuk membenahi pakaianku yang tak karuan.

Aku baru sadar menyadari seluruh kancing baju tidurku semuanya terlepas dan bagian bawahnya sudah terangkat sampai ke pinggang. beruntung saja celana dalamku masih terpakai rapi, hanya dadaku saja yang telanjang. Aku buruburu untuk menutupi ketelanjangan dadaku karena mata Kang Hendi yang pembohong tak pernah pernah mengungkapkan ke arah sana.

Saking takutnya aku tak bisa ngomong apaapa dan hanya melongo melihat Kang Hendi semakin mendekat. Ia lalu duduk di bibir ranjang sambil meraih pegangan dan membisikkan katakata rayuan bahwa aku ini cantik namun kurang beruntung dalam perkawinannya.

Dadaku serasa ingin meledak mendengar ucapannya. Apa hak dia untuk mengatakan semua itu? Aku tak butuh dengan belas kasihannya. Kalau saja aku tidak akan ingat istrinya, yang merupakan kakakku sendiri. Sudah kutampar mulut lancangnya itu. Apalagi ia sudah beraniberani masuk ke dalam kamarku malammalam begini.

Teringat itu aku langsung bertanya, Kemana Teh Mirna?.

Ssst, tenang ia lagi di rumah yang di sana kata Kang Hendi dengan tenang seolah tidak bersalah.

Kurang terbuka, runtukku dalam hati. Pantesan berani masuk ke kamar. Tapi kok Teh Mirna nggak ngomong ngomong sebelumnya.

Kok dia nggak bilangbilang mau pulang Tanyaku heran.

Tadinya mau ngomong. Tapi Kang Hendi bilang tidak perlu dipanggang Neng Anna sudah tidur, biar nanti Akang saja yang bilangin jelasnya.

Dasar lakilaki kurang ajar. Istrinya dibohongi biar dia bebas masuk kamarku. Aku semakin marah. Pertama ia sudah kurang ajar masuk kamarku, kedua ia berani membayar istri yang juga kakak kandungku sendiri!

Akang sadar saya ini adikmu juga. Akang mau ngapain kemari.. Cuma.. ngh.. pake gituan aja kataku seraya melirik Kang Hendi sekilas. Aku tak berani lamalama karena takut melihatnya.

Neng.. panggilnya dengan suara parau.

Akang panggang melihat Neng Anna. Akhir akhir ini tampaknya sangat senang dia mengucapkannya.

Akang tahu dari mana saya menderita sergahku dengan mata mendelik.

Eh.. jangan marah ya. Itu.. nggh.. Akang.. anu.. katanya dengan raguragu.

Ada apa kang? bertanya sambil penasaran mengungkapkan ekspresi lekatlekat.

Anu.. eh, Akang lihat kamu selalu kesepian. Lama ditinggal suami, jadi Akang ingin Bantu kamu katanya tanpa malumalu.

Maksud Akang?

Ini.. Maaf neng.., pernah melihat Neng Anna kalau lagi tidur suka.. tulis setengah setengah.

Jadi akang suka ngintip saya? tanya saya sewot.

Kulihat ia mengangguk lemah untuk kemudian dinikmati dengan penuh gairah.

Akang ingin membantu kamu bisiknya hampir terdengar.

Kepalaku serasa dihantam mendengar pengakuan dan keberaniannya mengungkapkan isi hati. Sungguh kurang ajar lelaki ini. Berbicara seperti itu tanpa merasa bersalah. Dadaku serasa sesak oleh amarah yang tak tersalurkan. Aku terdiam seribu bahasa, badanku serasa lemas tak berdaya menghadapi kenyataan ini. Aku malu sekali pelampiasanku selama ini diketahui orang lain. Aku tak tahu sampai sejauh mana Kang Hendi melihat rahasia di tubuhku. Aku tak ingin membayangkannya.

Kang Hendi tidak menyerah begitu saja melihatku. Kebingunganku telah membuat diriku kurang waspada. Aku tak tahu kapan Kang Hendi menempel di pinggangku. Aku terjebak di ujung ranjang. Tak ada jalan pandang untuk dicarikan diri. Semuanya tertutup oleh tubuhnya yang jauh lebih besar dariku. Aku menyadari ketika ia merangkulku. Tercium aroma khas lelaki yang tersebar dari tubuh Kang Hendi. Aku merasakan otototot tubuhnya yang keras menempel di tubuhku. Kedua mengarahkan yang terlihat lebih besar sehingga bekerja jauh lebih kecil daripadanya. Aku berontak sambil mendorong mendorong. Kang Hendi malah mempererat pelukannya. Aku terengah-engah dibuatnya. Tenagaku sama sekali tak berarti melebihi kekuatannya. Nampaknya usaha siasia belaka melawan tenaga lelaki yang sudah kesurupan ini.

Kang inget.. saya kan adik Akang juga. Lepasin saya kang. Saya janji nggak akan bilang sama teteh atau siapa aja.. pintaku memelas saking putus asanya.

Hibaanku sama sekali tak dihiraukan. Kang Hendi memang sudah kerasukan. Wajahku diciumi dengan penuh nafsu bahkan bergantian mulai menariknarik pakaian tidurku. Aku berusaha menghindari dari ciuman sambil menahan pakaianku tanpa terbuka. Kami berkutat saling bertahan. Kudorong tubuh Kang Hendi dengan tenaga sambil terusterusan mengingatkan dia agar tidak melakukan perbuatannya. Lelaki yang sudah kerasukan ini mana bisa berlatih, sebaliknya sebaliknya ia semakin garang. pakaian tidurku yang terbuat dari kain tipis tak mampu menahan kekuatan tenaganya. Hanya dengan sekali sentakan, terdengar suara pakaian dirobek. Aku terpekik kaget. Pakaianku robek hingga pinggang dan dadaku yang sudah tertutup apaapa lagi.

Kulihat mata Kang Hendi melotot menyaksikan buah dadaku yang montok dan kenyal, menggelantung indah dan menggairahkan. Kedua kusentuh dengan cepat untuk mendapatkan ketelanjanganku dari pembohong mata lelaki itu. Upayaku itu membuat Kang Hendi semakin beringas. Ia marah dan menarik kedua kakiku hingga aku terlentang di ranjang. Tubuhnya yang besar dan kekar itu langsung menindihku. Nafasku sampai tersengal menahan beban di atas tubuhku.

Kang jangan! cegahku ketika ia membuka tangannku dari atas dadaku.

Kedua tangan dicekal dan dihimpit masing-masing di sisi yang dirancang. Dadaku jadi terbuka lebar mempertontonkan keindahan buah dadaku yang menjulang tinggi. Kepalaku merontaronta begitu kurasakan wajahnya mendekat ke atas dadaku. Kupejamkan mataku. Aku tak ingin melihat bagian tubuhku yang tak pernah menggunakan orang lain kecuali suamiku itu, dirambah dengan kasar oleh Kang Hendi. Aku tak rela ia menjamahnya. Kucoba meronta di bawah himpitan tubuhnya. siasia saja. Air langsung menetes di pipi. Aku tak tahan tangisku atas perbuatan tak senonoh ini.

Kulihat wajah Kang Hendi senang melihatku tak meronta lagi. Ia terus merayuku sambil berkata bahwa dirinya menolong diriku sendiri. Ia, katanya, akan berusaha memberikan apa yang selama ini kudambakan.

Kamu tenang aja dan nikmatin. Akang janji akan pelanpelan. Nggak kasar asal kamu jangan berontak.. katanya kemudian.
Aku tak ingin mendengarkan umbaran bualan dan rayuannya. Aku tak mau Kang Hendi mengucapkan katakata seperti itu, karena aku tak rela diperlakukan seperti ini. Aku benar-benar tak berdaya di bawah kekuasaannya. Aku hanya bisa terkulai pasrah dan terpaksa membiarkan Kang Hendi menciumi dengan senang hati. Bibirnya dengan leluasa mengulum bibirku, menjilati seluruh dunia. Aku hanya diam tak bergerak dengan mata terpejam.

Baca Juga : Cerita Sex Aku Suka Ngentot Dengan Ibu dan Tanteku Sendiri

Hatiku menjerit merasakan cumbuannya yang semakin pembohong, menggerayangkan ke leher dan turun ke atas dadaku. Aku menahan nafas manakala mulai menciumi kulit di seputar dadaku. Lidahnya menarinari dengan bebas menelusuri kemulusan kulit buah dadaku. Kadangkadang lidahnya menjentik sekalisekali ke atas putingku.

Gak rela.. gak rela..! jeritku dalam hati.

Kudengar nafasnya semakin menderu kencang. suara kecipakan mulutnya dengan rakus melumat seluruh payudaraku yang montok. Seolah ingin merasakan setiap kekenyalannya. Aku seolah terpana oleh cumbuannya. Hatiku bertanyatanya. Apa yang sedang terjadi pada diriku. Kemana tenagaku? Mengapa saya tidak berontak? Kenapa membiarkan Kang Hendi melakukan semaunya? Aku bersyukur oleh diriku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri yang begitu mudah terpedaya oleh kelihaiannya bercumbu. Terjadi konflik bathin dalam diriku. Di satu sisi, aku tak ingin diriku menjadi sasaran empuk nafsu lelaki ini. Aku adalah seorang wanita bersuami. Terpandang. memiliki kehormatan. Aku menemukan wanita murahan yang dapat dicari kepuasannya. Tetapi di sisi lain, aku merasakan suatu desakan dalam diriku sendiri. Suatu keinginan yang begitu kuat, meletupletup tak terkendali. Kian lama kian kuat desakannya. Tubuhku sampai berguncang hebat merasakan perang bathin ini. Aku tak tahu mana yang lebih kuat. perasaan ini yang kuimpikan setiap malam?

Tanpa sadar dari bibirku meluncur desisan dan rintihan lembut. Meski sangat perlahan, Kang Hendi dapat merasakan dan merasakan perubahan yang terjadi dari tubuhku. Ia ersenyum penuh kemenangan. Ia tampak begitu yakin bahwa saya akan menyerah kepadanya. Bahkan kedua cekalan tangan pada tanganku pun menemukan dan berpindah ke atas buah dadaku untuk meremasnya. Ia sangat yakin aku tak akan berontak meski tanganku sudah terbebas dari cekalannya.

Memang tak dapat dipungkiri keyakinan Kang Hendi ini. Aku sendiri tidak memanfaatkan kebebasannya untuk mendorong tubuhnya dari atasku. Aku malah sebaliknya di atas kepala Kang Hendi yang bergerak bebas di atas dadaku. Tanganku malahan cuma main-main, menekan kepalanya ke atas dadaku.

Kang udah.. jangaann..! rintihku masih memintanya berhenti.

Harihariku sebagai istri memang membahagiakan dan membanggakan. Temanteman gadisku banyak yang iri dengan kehidupanku yang serba enak. Meski aku sendiri tidak yakin dengan kebahagiaan yang kurasakan saat itu. Hati kecilku sering bertemu oleh yang sewaktu-waktu akan berisiko jatuh merana. Aku hanya satu-satunya wanita pendamping suamiku. Ia sudah beristri dengan beberapa anak. Mereka tinggal jauh di kota besar dan sama sekali tak pernah tahu keberadaanku sebagai madunya.

Ketika menikah pun aku sudah tahu akan statusnya ini. Aku, entah terpaksa atau memang mencintainya, memutuskan untuk menikah dengannya. Demikian pula dengan orang tuaku. Mereka malah sangat mengharapkan saya menjadi istri. Mungkin mereka mengharapkan kami akan berubah, derajat kami meningkat dan dilihat oleh semua orang kampung bila aku sudah menjadi istrinya. Mungkin memang nasibku untuk menjadi istri kedua, lagi pula mungkin akan bahagia dengan statusku ini.

Semua itu kurasakan setahun yang lalu. Begitu menginjak tahun kedua, barulah saya merasakan perubahan. Suamiku yang dulunya lebih sering berada di sisiku, kini mulai jarang muncul di rumah. Pertama seminggu sekali ia mengunjungiku, kemudian sebulan dan terakhir aku menghitung lagi berapa bulan sekali dia datang kepadaku untuk melepas rindu.

Aku tak berani menghubunginya. Aku takut semua itu malah akan membuat risiko lebih merana. Aku tak bisa membayangkan kalau istri pertama tahu keberadaanku. Pastinya akan marah besar dan mengadukanku ke pihak berwajib. Biarlah aku tanggung semua derita ini. Aku tak ingin orang tuaku terbawa sengsara oleh masalah kami. Mereka sudah hidup bahagia, memiliki rumah yang lebih besar, sawah dan kebunternak piaraan suamiku.

Hari hari yang kulalui semakin tidak menggairahkan. Aku berusaha untuk menyibukan diri dengan berbagai kerjaan agar tak merasa bosan ditinggal suami dalam waktu lama. Tetapi semua itu tidak membuat saya tenang. Hanya menjadi gelisah, terutama di malam hari. Aku selalu termenung sendiri di tempat tidur sampai larut malam yang tak kunjung datang. Kurasakan sprei tempat tidurku begitu dingin, tidak seperti hari-hari awal pernikahan kami dulu. Sprei tempat tidurku tak pernah rapi, selalu acakacakan dan hangat setiap suasana hati tubuh kami yang selalu bersemangat. Di saatsat seperti inilah aku selalu merasakan yang mendalam, gelisah mendambakan hubungan seperti dulu.Rindu akan cumbuan hangat suamiku yang sepertinya tak pernah padam meski usianya mulai menua.

Kalau sudah terbayang semua itu, aku menjadi gelisah. Gelisah oleh perasaanku yang menggebugebu. Bahkan akhirakhir ini semakin membuat pusing. Membuatku uringuringan. Marah oleh sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti. Kegelisahan ini sering terbawa dalam mimpiku. Di luar sadarku, aku sering membayangkan cumbuan hangat suamiku. Bagaimana panasnya kecupan bibir suamiku di sekujur tubuhku. saya menggelinjang setiap kali menyentuh sentuhan, merasakan sentuhan lembut pada bagian tertentu saya. Aku tak mampu menahan diri. Akhirnya aku mencumbui diriku sendiri. Tangannku menggerayangkan ke seluruh tubuh sambil membayangkan semua itu milik suamiku. Pinggulku berputar pembohong gerakan jemari di sekitar pangkal pahaku. Pantatku terangkat tinggi menyambut desakan benda imajinasiku ke dalam diriku. Aku melenguh dan menikmati kenikmatan hingga akhirnya terkulai lemas di tempat yang sama dengan alam sadar bahwa semua itu merupakan kenikmatan semu. Air mataku jatuh bercucuran, meratapi nasibku yang tidak beruntung.

Pelarianku itu menjadi kebiasaan setiap sebelum tidur. Menjadi semacam suatu keharusan. Aku ketagihan. Sulit menghilangkan kebiasaan yang sudah menjadi kebutuhan bathinku. Aku tak tahu sampai kapan semua ini akan berakhir. Aku sudah bosan. Kecewa, marah, sedih dan entah apalagi yang ada dalam perasaan saat ini. Kepada siapa aku harus melampiaskan semua ini? Suamiku? Entah kapan aku datang lagi. Kepada orang tua? Apa yang bisa mereka perbuat? Oohh.. aku hanya bisa menangisi penderitaan ini.

Aku memang gadis kampung yang tak tahu keadaan. Aku tak pernah sadar bahwa keadaanku seharihari menarik perhatian seseorang. Aku baru tahu kemudian bahwa ternyata Kang Hendi, suami kakakku, mengikuti perkembanganku seharihari. Mereka memang tinggal di rumahku. Aku sengaja mengajak mereka tinggal bersama, karena rumahku cukup besar untuk menampung mereka bersama anak tunggalnya yang masih balita. Sekalian menemaniku yang hidup seornag diri.

Kasihan Neng Anna, temenin aja. Biar rumah kalian di sana dikontrakan saja demikian saran orang tuaku waktu itu.

Aku pun tak terima. Akhirnya mereka tinggal bersamaku. Semuanya berjalan normal saja. Tak ada permasalahan di antara kami semua, sampai suatu malam ketika aku sedang melakukan hal rutin terperanjat setengah mati saat kusadari ternyata aku tidak sedang bermimpi bercumbu dengan suamiku. Sebelum sadar, saya merasakan kenikmatan yang luar biasa sekali. Terasa lain dengan khayalanku selama ini. Apalagi ketika menempatkan payudaraku dijilat dan dihisaphisap dengan penuh gairah. Aku sampai mengerang saking nikmatnya. Rangsangan itu semakin hebat menguasai diriku. Kecupan itu semakin menggila, bergerak menelusuri perutku terus ke bawah menuju lembah yang ditumbuhi semak semak lebat di sekitar selangkanku. Saya hampir berteriak saking menikmatinya. Ini merupakan sesuatu yang baru, yang tak pernah dilakukan oleh suamiku. Bahkan dalam mimpipun, aku tak pernah membayangkan sampai sejauh itu. Di situlah aku baru tersadar. Terbangun dari mimipiku yang indah. Kubuka mataku dan melirik ke bawahku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mataku yang masih belum terbiasa dengan keadaan gelap ruangan kamar, melihat sesuatu yang bergerakgerak di bawah sana, di antara kedua pahaku yang terbuka lebar.

Aduh kenapa sih ini.. gumamku setengah sadar sambil menjulurkan tangan ke bawah sana.

Tanganku memegang sesuatu seperti rambut. Kurabaraba dan baru kutahu bahwa itu adalah kepala seseorang. aku kaget. Dengan refleksi aku bangun dan merapat ke ujung ranjang sambil mencoba melihat apa yang terjadi. Setelah terbiasa dengan bayangan, melihatnya di sana ternyata seseorang tengah berada di atas ranjang. Aku kaget begitu kutahu orang itu adalah Kang Hendi, kakak iparku!

Saking kagetnya, saya berteriak dengan tenaga. Tetapi aku tak mendengar suara teriakan itu. Kerongkonganku serasa tersekat. Hanya mulutku saja yang terbuka, menganga lebarlebar. Kedua mataku melotot seolah tak percaya apa yang hanya di hadapanku adalah Kang Hendi yang bertelan memakai cawat.

Kang Hendi menghampiri sambil mencoba agar jangan berteriak. Tubuhku semakin mepet ke ujung dinding. Takut, marah dan lain sebagainya bercampur aduk dalam dihatiku melihat kehadirannya di kamarku dalam keadaan seperti itu.

Kang! Lagi apa..? hanya itu yang keluar dari mulutku sementara tanganku sibuk membenahi pakaianku yang tak karuan.

Aku baru sadar menyadari seluruh kancing baju tidurku semuanya terlepas dan bagian bawahnya sudah terangkat sampai ke pinggang. beruntung saja celana dalamku masih terpakai rapi, hanya dadaku saja yang telanjang. Aku buruburu untuk menutupi ketelanjangan dadaku karena mata Kang Hendi yang pembohong tak pernah pernah mengungkapkan ke arah sana.

Saking takutnya aku tak bisa ngomong apaapa dan hanya melongo melihat Kang Hendi semakin mendekat. Ia lalu duduk di bibir ranjang sambil meraih pegangan dan membisikkan katakata rayuan bahwa aku ini cantik namun kurang beruntung dalam perkawinannya.

Dadaku serasa ingin meledak mendengar ucapannya. Apa hak dia untuk mengatakan semua itu? Aku tak butuh dengan belas kasihannya. Kalau saja aku tidak akan ingat istrinya, yang merupakan kakakku sendiri. Sudah kutampar mulut lancangnya itu. Apalagi ia sudah beraniberani masuk ke dalam kamarku malammalam begini.

Teringat itu aku langsung bertanya, Kemana Teh Mirna?.

Ssst, tenang ia lagi di rumah yang di sana kata Kang Hendi dengan tenang seolah tidak bersalah.

Kurang terbuka, runtukku dalam hati. Pantesan berani masuk ke kamar. Tapi kok Teh Mirna nggak ngomong ngomong sebelumnya.

Kok dia nggak bilangbilang mau pulang Tanyaku heran.

Tadinya mau ngomong. Tapi Kang Hendi bilang tidak perlu dipanggang Neng Anna sudah tidur, biar nanti Akang saja yang bilangin jelasnya.

Dasar lakilaki kurang ajar. Istrinya dibohongi biar dia bebas masuk kamarku. Aku semakin marah. Pertama ia sudah kurang ajar masuk kamarku, kedua ia berani membayar istri yang juga kakak kandungku sendiri!

Akang sadar saya ini adikmu juga. Akang mau ngapain kemari.. Cuma.. ngh.. pake gituan aja kataku seraya melirik Kang Hendi sekilas. Aku tak berani lamalama karena takut melihatnya.

Neng.. panggilnya dengan suara parau.

Akang panggang melihat Neng Anna. Akhir akhir ini tampaknya sangat senang dia mengucapkannya.

Akang tahu dari mana saya menderita sergahku dengan mata mendelik.

Eh.. jangan marah ya. Itu.. nggh.. Akang.. anu.. katanya dengan raguragu.

Ada apa kang? bertanya sambil penasaran mengungkapkan ekspresi lekatlekat.

Anu.. eh, Akang lihat kamu selalu kesepian. Lama ditinggal suami, jadi Akang ingin Bantu kamu katanya tanpa malumalu.

Maksud Akang?

Ini.. Maaf neng.., pernah melihat Neng Anna kalau lagi tidur suka.. tulis setengah setengah.

Jadi akang suka ngintip saya? tanya saya sewot.

Kulihat ia mengangguk lemah untuk kemudian dinikmati dengan penuh gairah.

Akang ingin membantu kamu bisiknya hampir terdengar.

Kepalaku serasa dihantam mendengar pengakuan dan keberaniannya mengungkapkan isi hati. Sungguh kurang ajar lelaki ini. Berbicara seperti itu tanpa merasa bersalah. Dadaku serasa sesak oleh amarah yang tak tersalurkan. Aku terdiam seribu bahasa, badanku serasa lemas tak berdaya menghadapi kenyataan ini. Aku malu sekali pelampiasanku selama ini diketahui orang lain. Aku tak tahu sampai sejauh mana Kang Hendi melihat rahasia di tubuhku. Aku tak ingin membayangkannya.

Kang Hendi tidak menyerah begitu saja melihatku. Kebingunganku telah membuat diriku kurang waspada. Aku tak tahu kapan Kang Hendi menempel di pinggangku. Aku terjebak di ujung ranjang. Tak ada jalan pandang untuk dicarikan diri. Semuanya tertutup oleh tubuhnya yang jauh lebih besar dariku. Aku menyadari ketika ia merangkulku. Tercium aroma khas lelaki yang tersebar dari tubuh Kang Hendi. Aku merasakan otototot tubuhnya yang keras menempel di tubuhku. Kedua mengarahkan yang terlihat lebih besar sehingga bekerja jauh lebih kecil daripadanya. Aku berontak sambil mendorong mendorong. Kang Hendi malah mempererat pelukannya. Aku terengah-engah dibuatnya. Tenagaku sama sekali tak berarti melebihi kekuatannya. Nampaknya usaha siasia belaka melawan tenaga lelaki yang sudah kesurupan ini.

Kang inget.. saya kan adik Akang juga. Lepasin saya kang. Saya janji nggak akan bilang sama teteh atau siapa aja.. pintaku memelas saking putus asanya.

Hibaanku sama sekali tak dihiraukan. Kang Hendi memang sudah kerasukan. Wajahku diciumi dengan penuh nafsu bahkan bergantian mulai menariknarik pakaian tidurku. Aku berusaha menghindari dari ciuman sambil menahan pakaianku tanpa terbuka. Kami berkutat saling bertahan. Kudorong tubuh Kang Hendi dengan tenaga sambil terusterusan mengingatkan dia agar tidak melakukan perbuatannya. Lelaki yang sudah kerasukan ini mana bisa berlatih, sebaliknya sebaliknya ia semakin garang. pakaian tidurku yang terbuat dari kain tipis tak mampu menahan kekuatan tenaganya. Hanya dengan sekali sentakan, terdengar suara pakaian dirobek. Aku terpekik kaget. Pakaianku robek hingga pinggang dan dadaku yang sudah tertutup apaapa lagi.

Kulihat mata Kang Hendi melotot menyaksikan buah dadaku yang montok dan kenyal, menggelantung indah dan menggairahkan. Kedua kusentuh dengan cepat untuk mendapatkan ketelanjanganku dari pembohong mata lelaki itu. Upayaku itu membuat Kang Hendi semakin beringas. Ia marah dan menarik kedua kakiku hingga aku terlentang di ranjang. Tubuhnya yang besar dan kekar itu langsung menindihku. Nafasku sampai tersengal menahan beban di atas tubuhku.

Kang jangan! cegahku ketika ia membuka tangannku dari atas dadaku.

Kedua tangan dicekal dan dihimpit masing-masing di sisi yang dirancang. Dadaku jadi terbuka lebar mempertontonkan keindahan buah dadaku yang menjulang tinggi. Kepalaku merontaronta begitu kurasakan wajahnya mendekat ke atas dadaku. Kupejamkan mataku. Aku tak ingin melihat bagian tubuhku yang tak pernah menggunakan orang lain kecuali suamiku itu, dirambah dengan kasar oleh Kang Hendi. Aku tak rela ia menjamahnya. Kucoba meronta di bawah himpitan tubuhnya. siasia saja. Air langsung menetes di pipi. Aku tak tahan tangisku atas perbuatan tak senonoh ini.

Kulihat wajah Kang Hendi senang melihatku tak meronta lagi. Ia terus merayuku sambil berkata bahwa dirinya menolong diriku sendiri. Ia, katanya, akan berusaha memberikan apa yang selama ini kudambakan.

Kamu tenang aja dan nikmatin. Akang janji akan pelanpelan. Nggak kasar asal kamu jangan berontak.. katanya kemudian.
Aku tak ingin mendengarkan umbaran bualan dan rayuannya. Aku tak mau Kang Hendi mengucapkan katakata seperti itu, karena aku tak rela diperlakukan seperti ini. Aku benar-benar tak berdaya di bawah kekuasaannya. Aku hanya bisa terkulai pasrah dan terpaksa membiarkan Kang Hendi menciumi dengan senang hati. Bibirnya dengan leluasa mengulum bibirku, menjilati seluruh dunia. Aku hanya diam tak bergerak dengan mata terpejam.

Hatiku menjerit merasakan cumbuannya yang semakin pembohong, menggerayangkan ke leher dan turun ke atas dadaku. Aku menahan nafas manakala mulai menciumi kulit di seputar dadaku. Lidahnya menarinari dengan bebas menelusuri kemulusan kulit buah dadaku. Kadangkadang lidahnya menjentik sekalisekali ke atas putingku.

Gak rela.. gak rela..! jeritku dalam hati.

Kudengar nafasnya semakin menderu kencang. suara kecipakan mulutnya dengan rakus melumat seluruh payudaraku yang montok. Seolah ingin merasakan setiap kekenyalannya. Aku seolah terpana oleh cumbuannya. Hatiku bertanyatanya. Apa yang sedang terjadi pada diriku. Kemana tenagaku? Mengapa saya tidak berontak? Kenapa membiarkan Kang Hendi melakukan semaunya? Aku bersyukur oleh diriku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri yang begitu mudah terpedaya oleh kelihaiannya bercumbu. Terjadi konflik bathin dalam diriku. Di satu sisi, aku tak ingin diriku menjadi sasaran empuk nafsu lelaki ini. Aku adalah seorang wanita bersuami. Terpandang. memiliki kehormatan. Aku menemukan wanita murahan yang dapat dicari kepuasannya. Tetapi di sisi lain, aku merasakan suatu desakan dalam diriku sendiri. Suatu keinginan yang begitu kuat, meletupletup tak terkendali. Kian lama kian kuat desakannya. Tubuhku sampai berguncang hebat merasakan perang bathin ini. Aku tak tahu mana yang lebih kuat. perasaan ini yang kuimpikan setiap malam?

Tanpa sadar dari bibirku meluncur desisan dan rintihan lembut. Meski sangat perlahan, Kang Hendi dapat merasakan dan merasakan perubahan yang terjadi dari tubuhku. Ia ersenyum penuh kemenangan. Ia tampak begitu yakin bahwa saya akan menyerah kepadanya. Bahkan kedua cekalan tangan pada tanganku pun menemukan dan berpindah ke atas buah dadaku untuk meremasnya. Ia sangat yakin aku tak akan berontak meski tanganku sudah terbebas dari cekalannya.

Memang tak dapat dipungkiri keyakinan Kang Hendi ini. Aku sendiri tidak memanfaatkan kebebasannya untuk mendorong tubuhnya dari atasku. Aku malah sebaliknya di atas kepala Kang Hendi yang bergerak bebas di atas dadaku. Tanganku malahan cuma main-main, menekan kepalanya ke atas dadaku.

Kang udah.. jangaann..! rintihku masih memintanya berhenti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *