Namaku Rika, usia 27. TKW asal Jawa Timur. Aku tinggal di flat sempit, tiga lantai, buat buruh migran. Di kampung aku punya suami—baik, sabar, dan setia. Tapi sayangnya… tubuh perempuan bisa haus, bisa basah, dan bisa goyah kalau kesepian.
Flat tempatku tinggal hanya ditutup tirai tipis, jendelanya gede, langsung ngadep flat seberang. Biasanya sih aku tutup rapat. Tapi ada satu orang yang selalu berhasil bikin aku buka semuanya.
Namanya Abid—cowok Bangladesh yang tinggal di flat bawah. Tingginya biasa, tapi otot tangannya padat, logat Inggrisnya berantakan, dan satu yang pasti: dia candu sama payudara-ku.
Sejak beberapa bulan lalu, setiap sore kalau tetangga-tetangga berangkat kerja, dia naik ke kamarku, bawa plastik berisi nasi briyani, minuman soda, dan nafsu. Kami diem-diem main memek di lantai, di sofa, bahkan di dapur sempit.
Aku sendiri gak tahu kapan pertama kali aku mulai “ketagihan”. Awalnya cuma colmek di kamar mandi sambil nonton bokep bajakan dia, lalu pelan-pelan aku biarin tangannya menyentuh paha waktu kami makan bareng… sampai sekarang, aku rela disusuin kontol tiap kali matahari mulai miring.
Sore itu beda.
“Rika…” dia dateng sambil bawa plastik makanan. “Hari ini gue pengen yang ekstrim. Lo nurut kan, pelacur gue?”
Aku pura-pura nggak denger. Duduk di kasur sambil makan, dasterku udah kebuka separuh. Tapi dia malah jalan ke jendela, buka tirai lebar-lebar, dan senyum sambil ngelirik ke arahku.
“Kalau lo beneran budak gue… berdiri sini. Depan kaca. Gak usah malu.”
“Apa-apaan sih, Bi—”
“Gue mau lo nunjukin… kalau memek lo udah jadi milik gue, bukan suami lo di kampung sana.”
Deg. Kata-kata itu bikin tubuhku gemetar. Antara takut… dan basah.
Abid duduk di kasur, narikku pelan. Dasterku melorot, dan dia langsung jilat memek-ku dari belakang. Tangan kirinya main kasar di payudara-ku. Aku merem, desahan mulai bocor.
“Jangan liat gue… liat kaca. Liat bayangan lo… cewek yang sekarang memek-nya jadi milik cowok Bangladesh.”
Aku berdiri di depan jendela, telanjang, sambil gigit bibir. Dada naik turun. Di balik kaca, terlihat wajahku sendiri… pipi memerah, rambut awut-awutan, dan Abid jongkok di belakangku.
“Jangan gerak…” katanya sambil membuka kakiku lebih lebar.
Lidahnya menyentuh memek-ku. Lembut. Lalu makin dalam.
“Aahh… Bi… jangan… ada orang…”
“Lo pikir gue peduli?”
Dia jilat makin liar, dua jari masukin memek, mulutnya main di puncak memek-ku. Suaraku pecah, tangan nekan kaca biar gak jatuh.
Aku gak sadar… memek-ku udah netes di lantai.
Dan dari ujung mata… aku sempet liat siluet seseorang di flat seberang, tirainya kebuka sedikit. Tapi aku pura-pura gak liat. Aku pura-pura bodoh. Karena… aku udah basah sepenuhnya.
Masih dalam atmosfer eksibisionis yang tegang, liar, dan pelan-pelan makin panas…
“Aaahh… Bang, please… pelan dikit…”
Mulutku gemetar, tangan masih nempel di kaca. Tapi lidah Abid makin nekat. Memek-ku udah kayak tumpahan air panas—basah, melek, dan berdenyut.
Dia jongkok di belakangku, kedua tangannya nekan pahaku agar tetap terbuka. Jilatan itu… bikin aku nyaris roboh. Apalagi waktu dia bilang:
“Lo boleh pura-pura malu… tapi memek lo lebih jujur.”
Tangannya nyelip ke depan, main di puting. Jari-jarinya kasar, tapi bikin candu. Aku nyaris goyah, tapi dia makin nekat—tangan kanannya mulai dorong pinggulku nempel ke kaca. Pantatku nyaris nempel jendela.
“Lo suka dilihatin ya?”
Aku geleng pelan, tapi desahanku bohongin semua jawaban.
“Jujur, Rika. Memek lo makin basah pas ngeliat tirai seberang kebuka, kan?”
Aku diam. Mulutku setengah terbuka. Nafas ngos-ngosan. Lalu…
“Tunjukkin lidah lo,” katanya pelan.
Aku nurut. Dia jongkok di belakangku, tangan kirinya nyekap rambutku dari belakang. Memek-ku dijilatin sambil tangannya narik rambutku dan lidahku menjulur keluar. Aku malu, aku panas, aku… basah tak terkira.
Abid berdiri. Celananya udah melorot. Kontol-nya besar dan keras. Aku langsung jongkok, masih depan jendela, dan…
Nyusu kontol dia sampe aku ngiler.
Tangannya pegang belakang kepalaku. Tarikan rambutnya kasar. Aku tahu ini bukan cinta… ini nafsu murni. Tapi rasanya… bikin candu. Mataku melirik kaca. Bayangan tubuhku lagi jongkok, mulutku penuh penis-nya, tangan kiriku main sendiri di payudara.
“Dalemin… bagus pelacur kecilku…”
Air liurku netes ke lantai. Dia nyekap mulutku lebih dalam. Aku nyaris muntah, tapi malah makin basah. Suara isapan dan jilatan jadi satu, menggema di kamar sempit.
Setelah cukup lama, dia tarik rambutku ke belakang. “Nunduk ke kaca.”
Aku nurut. Tubuhku setengah membungkuk, tangan nempel kaca. Dia buka celananya sepenuhnya. Badannya penuh keringat. Aku bisa rasain ujung kontol-nya nyari-nyari pintu memek-ku yang udah super siap.
“Masuk, Bi… tolong masukin…” bisikku.
“Tanya ke kaca… lo pantas gak gue mainin begini?”
Aku angguk pelan. Wajahku nempel kaca. Nafasku berembun. Lalu…
Plak!
Dia tampar pelan pantatku. Sekali. Dua kali. Baru kontol-nya masuk perlahan.
Dan begitu memek-ku nerima semuanya, dia langsung goyang cepat, kasar, brutal, sambil narik rambutku.
“Aaahh… sssshh… pelan…,” aku setengah menjerit. Tapi dia gak peduli.
“Liat kaca tuh! Itu muka siapa?”
“A-a-aku…”
“Siapa?!”
“Pelacur lo… Bang… aahh… aku pelacur lo!”
Tangannya nekan punggungku. Kontol-nya keluar masuk makin cepat. Tubuhku digoyang kayak boneka. Aku nunduk lebih dalam, basah makin parah, kaki gemetar. Tapi dia tetap main cepat… dan aku gak bisa bohong:
Aku crott duluan. Badan getar, memek ngucur deras, mataku basah karena campuran nikmat dan malu.
Tapi dia belum crott.
“Belum… jangan berhenti… aku mau crott di perut lo.”
Dan waktu dia tarik keluar, aku pun membalik badan, telanjang, berkeringat, dan masih tremor… menunggu tumpahan terakhir.
“Jilat kontol gue dulu sebelum gue crott.”
Suara Abid berat dan bergetar. Dia berdiri depan kaca, penis-nya keras dan berurat, masih basah dari memek-ku barusan. Aku berlutut pelan-pelan, masih telanjang, dada naik turun, paha gemetar.
Lidahku keluar, aku lap kontol-nya dari pangkal sampe ujung.
Abid mendesah. Tangannya nyekap belakang kepalaku lagi. Aku tahu, ini bukan tentang cinta. Ini soal kekuasaan. Dia penguasa tubuhku sore ini, dan aku tunduk sepenuhnya.
“Bagus. Sekarang rebahan.”
Aku selonjor di lantai, persis depan jendela. Punggung nempel lantai dingin, kaki dibuka, dan dia berdiri di atas perutku.
“Liat mata gue… sambil lo tungguin crott gue.”
Aku tatap matanya. Panas. Brutal. Nafasnya cepat. Tangan kirinya mainin kontol-nya, tangan kanannya nekan payudara-ku keras-keras.
“Lidah keluar.”
Aku buka mulut. Nafasku berat. Jendela masih terbuka. Dan dari posisi ini… aku bisa liat kaca flat seberang. Tirainya sedikit gerak. Kayak ada orang ngintip.
Tapi aku pura-pura gak sadar. Atau pura-pura gak peduli.
Karena aku pengen disumpahin dosa, disaksikan dunia, ditandai sebagai pelacur.
Kontol-nya bergetar. Tangan Abid makin cepat. Lalu…
Crott.
Putih, hangat, liar. Dia crott dari atas, langsung ke perutku. Satu garis ke dada, satu netes ke paha. Sebagian nyiprat ke payudara, sebagian netes ke lantai.
“Jangan gerak. Biarkan dia nguap… biar perut lo hafal rasa crott gue.”
Aku diam. Nafas ngos-ngosan. Badanku basah bukan cuma karena cairan itu… tapi karena perasaan: dimiliki sepenuhnya.
Dia jongkok, mencium bibirku, lalu mengelus pahaku.
“Kalau suami lo tahu… lo bakal ngemis minta diampuni atau minta jatah lagi?”
Aku gak jawab.
Tanganku bergerak sendiri. Ambil tissue dari meja, bersihin cairan yang masih netes dari payudara ke lantai. Suara lengketnya terdengar pelan. Terlalu sunyi.
Lalu aku berdiri, badan masih telanjang, dan melirik ke jendela…
Flat seberang.
Tirai yang tadi setengah terbuka, tiba-tiba nutup rapat.
Jantungku berhenti sebentar. Jangan-jangan…
“Bang…” bisikku ke Abid. “Kayaknya tadi… ada yang ngintip.”
Dia cuma nyengir, ngerokok sambil tiduran. “Biarin. Sekalian pamer.”
Beberapa Hari Kemudian…
Aku lagi bersihin lantai. HP-ku bunyi. Nomor tak dikenal. Pesan masuk.
📩 Video berdurasi 08:12
Caption: “Enak main depan jendela ya, Mbak Rika? Gue mau jatah juga. Atau… video ini nyampe ke suami lo di kampung.”
Tanganku gemetar. Aku klik video itu.
Aku liat diriku sendiri—telanjang depan jendela, disusuin kontol, dijilat, ditumpahin—semua dari angle flat seberang.
Lututku lemas.
Layar HP redup. Nafasku memburu. Di luar… flat seberang masih sunyi. Tapi aku tahu, mulai hari ini, tubuhku gak cuma milik Abid.
Ada satu orang lagi yang punya salinannya.
Malam itu aku gak bisa tidur. Video itu masih muter di kepalaku. Setiap kali aku pejam mata, aku liat diriku sendiri—telanjang depan jendela, mulutku sibuk nyusu kontol Abid, tubuhku gemetar waktu tumpahan dosa netes dari perut ke paha.
HP-ku bunyi lagi. Nomor itu ngirim pesan pendek:
“Besok jam 3 sore. Kosongin kamar. Pintu gak usah dikunci.”
Aku baca pelan-pelan. Jari-jari tanganku dingin.
Aku bisa aja blokir. Bisa ngadu ke Abid. Bisa kabur. Tapi tubuhku… memek-ku… payudara-ku… entah kenapa malah berdenyut pelan. Campuran rasa takut, malu, dan… penasaran.
Keesokan Harinya
Jam 3 kurang lima menit. Aku berdiri depan cermin, pakai daster tipis warna kuning, gak pake daleman. Kamar udah sepi. Tirai kututup rapat, tapi hatiku… terbuka penuh.
Pintu gak kukunci.
Deg. Gagang pintu bergerak pelan.
Masuklah dia—tetangga flat seberang. Cowok lokal, kulit agak gelap, rambut klimis. Umur sekitar 40-an. Dia diem sebentar, tatapanku dibalas tatapan dingin.
“Gue suka memek lo waktu dijilat. Wajah lo… bikin kontol gue keras dari jauh.”
Aku gak jawab. Diam. Tapi gak juga nolak.
Dia duduk di kursi, buka celana sendiri. Kontol-nya udah tegang. Tangannya nyuruh aku deket. Aku jalan pelan-pelan, duduk di lutut, dan…
Lidahku otomatis keluar.
Aku nyusu kontol cowok asing itu.
Tangannya kasar. Gerakannya lebih liar dari Abid. Dia narik rambutku, mukaku disodok maju-mundur. Air liurku netes ke lantai, suara isapan kencang.
“Gue mau memek lo sekarang. Di kasur.”
Aku nurut. Dasterku ditarik, memek-ku langsung dijilat tanpa pemanasan.
“Enak ya dijadiin tontonan…”
“Aaahh… iya… jilat lagi, Bang… jangan berhenti…”
Dia masuk pelan. Tapi gerakannya brutal. Pinggulku diguncang keras.
“Gue gak peduli siapa lo. Tapi tubuh lo kayak narkoba.”
Kontol-nya terus ngentot. Aku crott sekali, dua kali, sampai tubuhku lemas, tapi dia terus main… sampai akhirnya:
Crott di wajah.
Aku buka mulut, dan cairan panas itu nyiprat ke bibir, pipi, dagu. Aku diem, melek, nafasku masih kacau.
“Good girl,” katanya.
Dia berdiri, tarik resleting. Tapi sebelum pergi, dia lempar HP-nya ke tempat tidur.
“Isi sendiri jadwal selanjutnya. Gue hapus videonya kalau gue puas.”
Seminggu Setelahnya…
Aku masih TKW. Masih istri orang. Tapi sekarang… aku punya dua lelaki yang masuk keluar kamarku. Abid di sore hari, dan cowok itu—si tukang ngintip—setiap dua kali seminggu.
Tubuhku bukan lagi cuma untuk hasrat. Tapi untuk dijual diam-diam.
Setiap kali berdiri depan kaca, tanpa tirai, telanjang, dengan kontol masuk di belakang… aku sadar:
Aku bukan sekadar pelacur milik Abid. Tapi koleksi dua laki-laki yang bawa dosa dan candu.
Dan yang lebih parah:
Aku menikmatinya.
TAMAT