Pengalaman yang Tak Pernah Pudar

Pengalaman yang Tak Pernah Pudar

Beberapa tahun lalu, saat aku masih mahasiswa semester awal di salah satu universitas ternama di Jakarta, hidupku berubah total karena seorang wanita bernama Mbak Dewi. Namaku Fandy, tapi semua orang memanggilku Andy. Aku bukan tipe yang suka pamer cerita pribadi, tapi pengalaman ini terlalu dalam, terlalu membara, hingga rasanya mustahil untuk tidak dibagi. Ini bukan fiksi—ini nyata, penuh gairah, kenikmatan, pengkhianatan, dan luka yang masih terasa hingga kini.

Aku baru benar-benar mengenal seks di usia 20 tahun. Sebelumnya, aku hanya tahu dari cerita teman atau film-film dewasa yang kutonton diam-diam. Tapi Mbak Dewi mengubah semuanya. Dia karyawati di bagian administrasi kampus—tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih mulus seperti porselen, rambut panjang hitamnya selalu tergerai harum, dan senyumnya… ah, senyumnya bisa membuat lututku lemas. Usianya lebih tua hampir lima tahun dariku, tapi itu justru membuatnya lebih matang, lebih tahu apa yang diinginkan seorang wanita di ranjang.

Pertemuan pertama kami terjadi secara tak sengaja. Aku sering ke kantor administrasi untuk urus surat-menyurat, dan lambat laun kami mulai mengobrol. Dari basa-basi biasa, jadi sering curhat. Dia cerita tentang pekerjaannya yang monoton, aku cerita tentang tugas kuliah yang menumpuk. Suatu sore hujan deras, aku menawarkan mengantarnya pulang karena kosannya tak jauh dari kampus. Di mobil, suasana mulai berbeda. Tangan dia sesekali menyentuh lenganku saat tertawa, aroma parfumnya memenuhi kabin, dan pandangan matanya seperti mengundang.

Sampai di kosannya—sebuah kamar kecil tapi rapi di pinggiran Jakarta Selatan—dia mengajakku naik sebentar karena hujan belum reda. Tak sampai sepuluh menit, bibir kami sudah bertemu. Ciumannya lembut dulu, lalu semakin ganas. Tangan dia menarik kausku, tanganku menyusup ke balik blusnya, merasakan kehangatan payudaranya yang penuh di balik bra tipis. Malam itu juga keperjakaan ku hilang. Dia memandu ku dengan sabar, mengajarkanku bagaimana menyentuh wanita, bagaimana membuatnya basah sebelum memasuki.

Sejak itu, kami tak terpisahkan. Hubungan kami berlangsung hampir dua tahun, dan seks menjadi bagian tak terlewatkan dari hari-hari kami. Mbak Dewi hiperseksual—dia bisa terangsang hanya dengan ciuman panjang atau bisikan nakal di telinganya. Kosannya jadi tempat favorit kami. Tirai selalu tertutup rapat, lampu redup, dan musik pelan mengalun dari speaker kecilnya.

Aku ingat betul sensasi pertama kali benar-benar menikmati tubuhnya sepenuhnya. Dia telentang di ranjang, telanjang bulat, kulitnya berkilau karena keringat tipis. Payudaranya montok, putingnya cokelat muda sudah mengeras. Aku mencium lehernya, turun ke dada, menghisap putingnya bergantian sambil tanganku menyusuri perut rata menuju selangkangan. Jari-jariku menemukan klitorisnya yang sudah bengkak, dan saat kusentuh pelan, dia langsung mengerang, “Aahh… Andy… terus…”.

Vaginanya selalu basah dengan cepat. Hangat, rapat, dan licin. Saat aku memasukinya pertama kali sepenuhnya tanpa kondom—atas permintaannya—rasanya seperti surga. Dinding dalamnya meremas batangku pelan-pelan, seperti memijat. Aku menggerakkan pinggul perlahan, takut terlalu cepat keluar. Tapi Mbak Dewi tak suka lambat lama-lama. “Cepat sedikit, sayang… aku mau rasain dalam-dalam,” bisiknya sambil kakinya melingkar di pinggangku.

Hanya dalam dua-tiga menit, tubuhnya mulai menegang. Pinggulnya naik, tangannya mencengkeram punggungku kuat-kuat. “Andy… aku mau keluar… aahh… cabut dulu… biar aku semprot…”. Aku patuh, mencabut batangku yang sudah basah berlendir. Dan… pyuuur… cairan bening menyembur dari vaginanya, cukup kuat hingga mengenai perutku. Hangat, encer, dan banyak. Sprei langsung basah di sekitar bokongnya.

Itu baru orgasme pertama. Malam itu kami melakukannya berulang-ulang. Dia bisa klimaks enam sampai delapan kali dalam satu sesi, setiap kali menyemprot cairan yang semakin banyak. Aku belajar mengontrol ritme: masuk pelan dalam, gesek klitorisnya dengan jempolku, lalu cepat sebentar sebelum dia mendekati puncak, lalu cabut agar dia bisa squirting bebas. Suara rintihannya campur aduk—dari desahan lembut sampai jeritan tertahan saat puncaknya datang.

“Ooohh… Andy… lagi… aku lagi mau keluar… fuuuhhh…”. Tubuhnya menggeliat liar, kadang sampai menendang-nendang selimut. Kadang dia seperti terkencing, cairannya mengalir deras. Aku tak pernah bosan melihatnya: wajah cantiknya memerah, bibirnya digigit, mata setengah terpejam penuh kenikmatan.

Setelah beberapa orgasme, barulah giliranku. Dia suka aku keluar di dalamnya. “Isi aku, sayang… biar benihmu nyatu sama aku…”. Saat aku mendekati klimaks, vaginanya seperti sengaja meremas lebih kuat, seolah memeras setiap tetes air maniku. Rasanya luar biasa—hangat, basah, dan penuh.

Hubungan kami begitu intens hingga beberapa kali dia hamil. Lima kali tepatnya dalam dua tahun itu. Setiap kali tes pack menunjukkan dua garis, dia justru bangga. “Lihat, Andy, kamu hebat banget. Benihmu kuat sekali,” katanya sambil memelukku, mengelus perutnya yang masih rata. Tapi kami belum siap punya anak. Dia selalu menggugurkannya, meski dengan berat hati. “Kita masih ingin nikmatin ini setiap hari, kan? Nggak mau terganggu dulu,” alasannya. Aku setuju, meski kadang ada rasa bersalah.

Kami bercinta di mana saja kesempatan ada: di kosannya, di motorku di tempat sepi, bahkan sekali di ruang kosong kampus saat malam. Dia tak pernah malu menunjukkan hasratnya. Kalau sedang haid pun dia minta oral—dia yang menghisapku sampai puas, atau aku yang menjilatnya sampai dia squirting di wajahku.

Aku benar-benar mencintainya. Dia segalanya: kekasih, guru, candu. Meski aku tahu aku bukan pria pertama baginya, itu tak masalah. Aku yakin perasaannya sama. Kami bicara tentang masa depan, meski belum resmi.

Tapi semua berubah saat aku harus ke Bandung dua minggu untuk urusan keluarga mendadak. Dia melepas dengan air mata. “Aku nggak kuat lama tanpa kamu, Andy. Tiap hari kita kan bareng,” katanya sambil menciumku lama. Aku janji cepat pulang, dan aku percaya dia setia.

Nyatanya, sehari sebelum aku kembali, dia ketahuan sedang bercinta dengan seorang dosen senior—di ruang kantor, saat orang lain rapat mingguan. Pintu tak terkunci, dan beberapa mahasiswa melihat secara langsung: Mbak Dewi di atas meja, rok terangkat, dosen itu memompa dari belakang. Berita menyebar cepat. Kampus gempar.

Aku pulang dan langsung dengar gosip itu. Hatiku hancur berkeping. Dia menghianatiku, padahal aku tak pernah selingkuh. Aku yang selalu setia, yang menganggapnya calon istri. Kurang dari seminggu, mereka menikah diam-diam—mungkin untuk tutupi malu.

Dia menelepon berkali-kali, menangis minta maaf. “Aku khilaf, Andy. Aku kesepian, dia memaksa… maafin aku…”. Aku memaafkan, tapi tak bisa melupakannya. Aku menghindar, tak mau bertemu.

Tapi dua hari sebelum pernikahannya, cemburu ku membakar. Aku rindu tubuhnya, rindu rintihannya, rindu vaginanya yang hangat. Malam itu aku datang ke kosannya tanpa bilang. Dia membuka pintu, mata berkaca, tapi langsung memelukku erat.

Tak ada kata-kata banyak. Kami langsung ke ranjang. Pakaian terlepas cepat. Aku menciumnya ganas, seperti ingin menghukum sekaligus memiliki lagi. Tubuhnya masih sama: mulus, harum, responsif. Aku memasukinya tanpa foreplay panjang—dia sudah basah sekali.

Hari itu kami bercinta seperti orang kesetanan. Dari siang sampai sore, berjam-jam tanpa henti. Aku membuatnya orgasme belasan kali—cairannya menyemprot berkali-kali, membasahi ranjang hingga seperti banjir kecil. “Andy… ini terakhir kita… puasin aku sepenuhnya… jangan cabut, keluarin di dalam terus…”. Aku patuh. Aku keluar di dalamnya berkali-kali, menyemprotkan benihku dalam-dalam, merasakan vaginanya meremas setiap denyut.

Kami tahu itu perpisahan. Hasil malam itu, dia hamil lagi—dan kali ini tak digugurkan. Anak laki-laki yang lahir sangat mirip denganku. Suaminya tak pernah curiga.

Setelah pernikahan, kami jarang bertemu. Dia menghindar di kampus, mungkin trauma dengan aib masa lalu. Aku berusaha move on, tapi tubuhku memberontak. Tiga minggu tanpa seks rutin membuatku gelisah hebat: sering pusing, susah tidur, penis ku tegang sendiri berjam-jam. Aku tak suka onani—sejak kenal Mbak Dewi, semua hasrat kutumpahkan padanya.

Hingga kini, kenangan itu masih hidup. Sensasi vaginanya yang rapat dan basah, semburan cairannya yang hangat di tubuhku, rintihannya yang liar, wajahnya saat orgasme—semua tak tergantikan. Mbak Dewi mengajarkanku bahwa seks bisa begitu indah, adiktif, hingga nyaris menghancurkan jiwa.

Itulah kisahku—pengalaman paling panas, paling berkesan, dan paling menyakitkan dalam hidupku.