Cerita Seks Pengalaman Ternikmat Mama Yusril yang Terbangun

Cerita Seks Pengalaman Ternikmat Mama Yusril yang Terbangun

Flashback itu masih muter-muter di kepalaku. Entah kenapa, sejak ngobrol soal bokep incest dengan Yusril malam itu, imajinasi liar makin sering datang. Terutama pas aku nginep di rumah dia. Kebetulan orang tua Yusril, terutama mamanya, memang beda kelas.

Namanya Bu Irma, usia 39, tapi bodinya bikin iri bidadari. Rambut lurus sebahu, kulit kuning bersih, dan dada… aduh, dua payudara yang penuh dan montok. Sering banget dasternya tipis dan gak pernah terlihat pake daleman.

Malam itu aku nginep lagi di rumah Yusril. Hujan deras, lampu remang-remang. Sekitar jam 2 pagi, aku terbangun karena haus. Turun ke dapur, lewatin ruang tamu, dan… jantungku deg-degan.

Di sofa, Bu Irma tertidur, cuma pakai daster warna krem tipis, tanpa selimut. Kakinya agak ngangkang, dan posisi tidurnya bikin daster itu naik sampai pangkal paha mulusnya kelihatan. Celana dalam renda putihnya tipis, bahkan samar-samar aku bisa lihat memek-nya dari balik kain tipis itu.

Aku diam sebentar. Pandanganku gak bisa lepas. Dada Bu Irma naik turun pelan, nafasnya tenang. Dari celah daster bagian atas, aku lihat jelas puncak dadanya yang besar, sedikit tertekan ke arah samping karena posisi rebahnya.

Tanganku mulai gatal. Kontol-ku udah bangkit dari tadi.

Aku jongkok di dekat sofanya. Makin dekat, makin terasa aroma tubuh wanitanya yang lembut. Tanganku perlahan menyentuh ujung dasternya. Kupingku tajam, memastikan Bu Irma masih tidur.

Perlahan, aku angkat daster itu. Perlahan-lahan… sampai pangkal perutnya terlihat. Celana dalam putih itu udah sedikit basah di tengah.

Aku gemetar, tapi nafsu udah ngalahin akal.

Tanganku menyentuh kain tipis itu. Jari telunjukku menekan pelan bagian tengah memek-nya dari atas CD. Basah. Hangat.

Bu Irma mendesah pelan, tapi gak bangun. Aku kaget, diam. Tapi detik berikutnya, dia malah mengangkat kakinya sedikit, dan posisinya makin membuka.

Gila.

Tanganku mulai mengusap-usap lembut. Perlahan, masuk ke balik kain. Jari-jariku menyentuh memek asli milik mama temanku sendiri. Rasanya licin, hangat, dan berdenyut.

“Hmmh…” desahan itu keluar dari mulutnya.

Matanya masih terpejam. Tapi tubuhnya bereaksi. Dia menggeliat kecil, dan perlahan bibirnya sedikit membuka.

Aku mulai main memek Bu Irma lebih berani. Dua jariku mengelus, menekan, memutar… sampai dia mendesah makin keras. Tanganku basah oleh cairannya sendiri.

Tak tahan, aku jongkok dan mulai jilat memek-nya pelan. Perlahan, tapi konsisten. Lidahku menyapu bagian tengahnya yang sudah mengembang. Bu Irma merintih makin nyata. Tubuhnya menggeliat, tapi masih belum bangun penuh.

“Hmmm… ahh…,” katanya pelan.

Aku teruskan. Jilatanku makin dalam, kadang kuputar, kadang kusemburkan udara hangat. Tanganku memainkan puncak dadanya lewat daster.

Dan saat itulah, matanya terbuka.

Aku membeku. Bibirku masih nempel di jalan rahasianya. Kami saling tatap.

Kami saling tatap. Matanya terbuka penuh, tapi dia tidak langsung teriak. Nafasnya cepat, dada naik turun, dan tatapan itu… bukan tatapan marah. Lebih ke kaget, bingung, dan… menyala.

“Zio… kamu… ngapain…?” bisiknya, suara pelan, nyaris seperti angin.

Aku masih membeku, tapi kontol-ku makin tegang. Lidahku masih menempel di memek-nya yang kini makin licin.

Maaf Tante… aku cuma… nggak bisa nahan,” kataku, suara pelan gemetar tapi jujur.

Dia menggigit bibir. Tangannya bergerak pelan, bukan menolak, tapi malah menepuk pahaku. “Zio… kamu nakal… kamu… hmmh…” katanya lagi, kali ini desahannya lebih panjang.

Dan dia tidak mendorongku pergi. Malah, kakinya sedikit menekan bahuku agar aku tetap di antara pahanya.

Aku makin berani. Kembali menjilat memek-nya, kali ini dengan ritme lebih lambat dan dalam. Lidahku membelah lembut bagian paling rahasia dari wanita matang itu. Tangannya mulai mencengkeram bantal, dan desahan demi desahan keluar tanpa bisa ia tahan.

“Hhh… ya ampun Zio… lidahmu enak banget…,” ucapnya pelan sambil mendesah.

Aku menikmati setiap tetes yang keluar dari memek-nya, rasanya gurih dan asin tipis. Nafasnya memburu, dan badannya mulai sedikit gemetar. Aku tahu dia hampir mencapai puncaknya.

Tapi aku tahan.

Aku berdiri, kontol-ku berdiri tegak dan berdenyut kencang. Bu Irma menatap ke arah selangkanganku, matanya membesar, dan satu tangannya langsung menyentuhnya.

“Astaga… gede juga ya kamu…,” katanya lirih. Lalu, tanpa ragu, dia menyedot kontol-ku masuk ke dalam mulutnya.

“Ahhh Tantee…” aku desah keras.

Dia nyusu kontol-ku dengan lembut, ritmis, perlahan. Bibirnya hangat, lidahnya aktif menggoda bagian bawah dan kepala. Aku pegang rambutnya, dan tubuhku bergetar tiap kali dia sedot lebih dalam.

“Zio… kontol kamu keras banget… Tante udah lama gak ngerasain beginian,” katanya sambil menyeka ludahnya.

Dia berdiri, dasternya dia buka sendiri, dan dua payudara itu langsung mengguncang pandangan. Putingnya keras, cokelat muda, besar. Aku langsung nyusuin puncaknya, dia mendesah panjang, “Akhh… iyaaa… hisap terus Zio…”

Aku rebahkan dia ke sofa. Dia angkat satu kaki ke atas sandaran, membuat pintu memek-nya menganga, basah, menunggu. Tangannya memegang kontol-ku dan mengarahkannya sendiri.

“Ayo Zio… masukin… Tante udah gak tahan…”

Aku gesek-gesek dulu ujung kontol-ku ke mulut memek-nya, lalu… aku dorong pelan.

“AHH…!” desahnya panjang, tubuhnya menegang.

Aku mulai ngewe, pelan di awal. Tiap masuk dan keluar, suara pletak-pletok basah itu bikin otakku gelap. Dia menggeliat, tangannya cakar pundakku, kakinya melingkar di pinggangku.

“Zio… jangan berhenti… ahh… dalem banget…!”

Aku tambah tempo. Memek-nya makin sempit, seperti menjepit kontol-ku keras. Tante Irma seperti haus akan tusukan. Tiap gerakan maju-ku dibalas dengan gerakan pinggulnya. Kami jadi seperti dua hewan yang saling berburu klimaks.

“Crooott… jangan di luar ya, masukin semuanya…!” katanya setengah teriak.

Aku mendekat ke ujung. Tubuhku tegang, napas tercekat. Aku tatap matanya.

Dan…

“ARGHHH…!”

Tubuhku menegang, kontol-ku berdenyut keras di dalam memek-nya yang udah menggeliat basah. Cairan hangatku memancar deras—crott semua di dalam. Tante Irma mendesah panjang, menggigit bibir, kedua tangannya mencengkeram leherku sambil mengerang pelan, “Zio… panas banget… ahhh…”

Tubuh kami sama-sama gemetar. Nafas memburu, keringat mengalir. Aku masih di dalam dirinya, merasakan denyut memek-nya menggeliat di sekitar kontol-ku yang baru saja crott.

Beberapa detik kami diam. Sunyi. Hanya suara hujan dari luar yang mengiringi detak jantung yang belum turun.

Dia tersenyum kecil. Tangannya membelai wajahku. “Gila… enak banget… udah lama banget Tante gak begini…”

Aku belum sempat jawab, dia tiba-tiba balikkan badan, nunduk di sofa, bokongnya menghadapku. Masih telanjang, dan memek-nya menganga, cairanku masih netes dari celah merahnya.

“Masih keras gak, Zio?” tanyanya sambil nengok ke belakang.

Aku cek. Kontol-ku yang barusan crott… masih berdiri tegang.

“Nah… sini… ayo, Tante pengen dicobain posisi begini juga,” katanya sambil sedikit mangap-mangapin memek-nya, menjilat jarinya sendiri.

Aku jongkok di belakangnya, lalu kuselipkan lagi kontol-ku yang masih lengket ke dalam jalan panasnya. Pelan-pelan… lalu mulai ngentot lagi.

Suara basahnya makin brutal. Pletak-pletok dari arah selangkangan kami mengisi ruang tamu. Sofa berderit, Bu Irma mendorong pinggulnya ke belakang tiap kali aku dorong masuk.

“AHHH ZIO… AHH DALAM… DALAM BANGET… GITU YA, NAK…”

Tangannya mencengkeram bantal, kepalanya tenggelam di sofa, dan bokongnya menahan tekanan dari belakang. Aku menampar bokongnya sekali, dua kali.

“AHH… IYAA… TAMBAH LAGI… TAMPAARRR… AHH!”

Tanganku memelintir rambutnya ke belakang, lalu kupeluk pinggangnya dan gas lebih dalam. Dia teriak tertahan. Nafasnya seperti habis lari maraton. Memek-nya menghisap kontol-ku dengan ritme yang memabukkan.

Lalu, dia mendesah panjang dan mulai kejang ringan.

“Z-Ziooo… Tante keluar…! Tante keluarrr… ahhh crotttt…!”

Tubuhnya lunglai, memek-nya berdenyut keras mencengkram kontol-ku, dan dia tumbang ke sofa dalam posisi nungging.

Aku belum crott ronde kedua. Tapi melihat tante Irma melemah, napas ngos-ngosan, tubuh penuh peluh, aku jadi makin panas.

Aku tarik keluar kontol-ku dari dalam memek-nya yang masih tremor, lalu kutepuk bokongnya.

“Belum kelar, Tante.”

Dia menoleh dengan mata redup penuh gairah. Senyumnya licik.

“Yuk ke kamar Tante… kita pake ranjang sekarang.”

Kami masuk ke kamar. Lampunya remang, ranjangnya besar dengan sprei putih yang kelihatan bersih banget. Tante Irma jalan lebih dulu, bokongnya bergoyang pelan seolah pamer, sambil sesekali nengok ke belakang. Kontol-ku masih berdiri, meskipun baru satu kali crott.

“Tidur di situ Zio,” katanya sambil menunjuk ranjang.

Aku baring. Dia naik ke atas tubuhku, lalu duduk di perutku. Dua payudara itu terguncang pelan saat dia membungkuk dan mencium bibirku—basah, dalam, penuh nafsu.

Tiba-tiba, dia bergerak turun, mulai dari leher, dada, perut… sampai akhirnya dia nyusu kontol-ku lagi dengan rakus.

“Ahhh Tanteee… enak banget…”

Lidahnya memutar-mutar di kepala kontol, lalu disedot dalam-dalam sampai tenggorokannya berbunyi gluk gluk. Tangannya mainin kantung telurku, mulutnya sibuk nyedot kontol seperti orang kelaparan.

Beberapa kali dia sengaja tarik keluar dan liatin aku sambil julurin lidah.

“Kamu suka kan liat Tante kayak gini?” bisiknya.

Aku hanya bisa angguk, napas ngos-ngosan. Dia tertawa kecil, lalu bangun, naikin tubuhnya pelan-pelan ke atas kontol-ku yang basah karena ludahnya sendiri.

“Memek Tante siap nerima kamu lagi ya…”

Perlahan, memek-nya diturunin pelan sampai kepala kontol-ku masuk. Dia mendesah, matanya memejam, tangannya menekan dadaku.

“Ahhh… keras lagi ya… dalem banget…”

Dia mulai goyang pelan. Pinggulnya naik-turun, bunyi cipratan basah terdengar tiap kali dia dudukin kontol-ku sampai habis.

Tangannya mainin puting sendiri, lalu merem sambil naik-turun makin cepat.

“Zio… Tante kecanduan… kontol kamu ngisi semua rongga dalam Tante…”

Aku pegang pinggangnya, bantu dorong tiap kali dia turun. Lalu, aku balik posisi.

“Sekarang gantian aku yang nyetir, Tante…”

Dia pasrah. Aku tarik kedua kakinya ke atas pundakku, dan mulai gas maju sekuat tenaga.

“AHHHHHH ZIOOOO… AHH… GITU… TAMBAH LAGI…!”

Ranjang berderit. Sprei basah oleh keringat dan cairan kami. Aku tusuk masuk sampai mentok, lalu tarik pelan keluar, dan dorong lagi sampai tubuhnya terpental.

Dia teriak, merem mewek, menggigit bantal.

“Akhh Zio… jangan berhenti… dalamin… buat Tante gila ya…”

Aku tempelkan bibirku ke putingnya, nyusu puting sambil tetap goyang. Memek-nya makin sempit lagi. Badannya tremor, dan aku rasakan kontol-ku diperas dari semua arah.

“Ziooo… Tante keluar lagiii…!”

Dia peluk tubuhku erat, tubuhnya basah dan panas, dan suara lirihnya seperti bisikan setan di telingaku.

“Aku… belum crott, Tante…” kataku sambil tatap wajahnya.

Dia tatapku balik. Senyum nakal terlukis lagi di bibirnya.

“Mau… Tante bantu keluar lewat belakang…?”

Aku bengong. “Belakang…? Maksudnya…?”

Dia hanya balas bisik:

Pintu rahasia Tante udah lama gak dibuka… ayo coba malam ini…

Aku bengong. “Belakang…?”

Tante Irma cuma tersenyum misterius, lalu bangkit pelan. Tubuhnya berkilau keringat, tapi justru makin menggoda. Dia ambil pelumas dari laci, duduk di atas lutut, lalu olesin kontol-ku yang masih keras dan berdenyut.

“Jangan kaget ya… rasanya beda… tapi Tante suka banget, Zio…”

Dia lalu jongkok menghadap dinding, bokongnya mengangkat, memek-nya menganga tapi justru pintu satunya yang dipamerkan. Bulat, kencang, lubang mungil itu bergetar pelan karena tegang. Satu tangannya membuka pipi bokong, satu lagi menyodorkan pelumas ke arahku.

“Pelan ya sayang… masukin dikit dulu…”

Aku oleskan pelumas lagi ke pintu rahasianya. Tanganku gemetar, bukan jijik—tapi karena liarnya momen ini. Dengan hati-hati, kusodorkan kepala kontol ke ujung lubangnya. Hangat. Ketat. Rasanya langsung beda.

“Auhhh… pelan Zio… pelan… ahhh gitu… ya gitu…”

Perlahan, lubang itu mulai nerima kepala kontol-ku. Tante Irma mencengkeram sprei, tubuhnya tegang, tapi nafasnya makin memburu.

“Terusin… masukin sayang… Tante siap…”

Setengah batang masuk. Ketat banget, seperti dicekik, tapi hangat. Tante Irma menggigit bibir, tangannya menampar bokong sendiri pelan.

“Tambah, Zio… dorong… Tante suka…”

Sampai akhirnya seluruh kontol masuk penuh ke pintu belakangnya. Aku berhenti sebentar. Dia mengerang dalam.

“Ya ampun… ahhh… udah lama banget gak diisi dari sini…”

Aku mulai goyang pelan. Keluar masuk. Satu tangan pegang pinggangnya, satu lagi ngeremas payudaranya dari belakang.

“AHHH… ZIOOO… DALAM… DALAMMM…!”

Suara desahannya berubah. Lebih rendah, lebih liar. Bokongnya nahan tiap tusukan, dan lubang itu ngeremas kontol-ku lebih brutal dari memek-nya.

“Jangan cepet, sayang… nikmatin… Tante suka gaya kamu…”

Aku tambah tempo. Plok plok plok plok!—suara kontol masuk dubur makin nyaring.

“Gila… gila… gila… Tante mau crott dari belakang…”

Tangannya getar, tubuhnya bergetar makin kuat. Aku tahu dia udah di ujung.

“Zio… tahan… jangan keluar dulu… ayo barengan… crott bareng di sini…”

Aku gas. Dorongan terakhir makin dalam. Tubuh kami menegang bersamaan.

“AHHHHHHH… CROTTTTTTTTTTT!”

Lubang belakangnya ngeremas keras, dan kontol-ku meledak di dalam. Aku jatuh ke atas punggungnya, peluh dan cairan bercampur. Nafas kami berat, tubuhku gemetar, dan Tante Irma hanya senyum dalam lelah.

“Zio… kamu bikin Tante gila… kamu jahat…”

Aku cium bahunya pelan.

“Kamu suka kan?”

Dia ketawa kecil. “Suka? Gila. Tante ketagihan… Tapi belum selesai… malam masih panjang…”

Kami tergeletak di atas ranjang, basah oleh peluh, cairan, dan dosa. Aku peluk Tante Irma dari belakang, tanganku menyentuh perutnya, bibirku mencium tengkuknya yang wangi.

Dia balas genggam tanganku, masih tersenyum puas.

“Zio… kamu lebih dari yang Tante bayangin…”

Aku hanya membalas dengan kecupan di bahunya. Nafasku masih berat, tapi kontol di balik selangkanganku mulai bangkit lagi, pelan-pelan. Tubuhnya yang hangat, bokongnya yang masih menyentuhku, semuanya bikin otakku gak bisa tenang.

Dia menyadarinya. Tangan halusnya menyentuh kontol-ku dari belakang, lalu mengelus pelan.

“Zio… mau lagi?”

Aku cuma angguk. Dia balik badan, memelukku, lalu turun perlahan ke bawah. Kali ini dia nyepong kontol-ku penuh cinta—lambat, pelan, tapi dalam.

“Slurrrpp… ahhh…”

Dia sesekali berhenti, tatap mataku sambil lidahnya main-main di kepala kontol.

“Tante suka bentuknya… keras, besar, manis…”

Dia jilati seluruh batangnya, lalu mainkan lidah di bagian bawah, dekat kantung. Aku megang rambutnya, setengah gila karena nikmat.

“Ahh… Tante… ngulummu… ahh… ngangenin…”

Tiba-tiba dia berhenti. “Sekarang, kamu yang bikin Tante mewek ya…”

Dia rebahan, membuka lebar kedua kakinya. Memek-nya terbuka merah muda, basah lagi, meski baru crott dari lubang satunya.

Aku langsung turun. Lidahku menyambut memek-nya yang berdenyut. Tante Irma mengerang, tangannya menekan kepalaku makin dalam.

“Jilat sayang… jilmek Tante sampe gemeter…”

Lidahku main mutar di kelentitnya, kadang kusedot, kadang kuseka naik-turun cepat. Tubuhnya melengkung, desahannya makin brutal.

“AHHHHH… JILMEKNYA ENAKK…!”

Tangannya narik rambutku. Tubuhnya meledak, memek-nya ngerasain jilatan paling liar malam itu.

Setelah dia mewek, aku bangkit, dan tanpa aba-aba kontol-ku masuk lagi ke memek-nya dari depan. Kali ini pelan tapi dalam—ritmenya kayak bercinta yang gak buru-buru.

“Ahhh Zio… kamu bikin Tante kayak anak SMA pacaran pertama kali…”

Aku cium bibirnya, goyangan konterku makin dalem, makin konsisten. Tangannya melingkar di leherku, kakinya melingkar di pinggangku.

“Dalemin Zio… sayangi Tante… isiin memek Tante…”

Aku tambah gas. Memek-nya basah banget, licin banget, dan setiap gesekan seperti disedot. Suaranya mewek lagi.

“Zio… Zio… jangan hentiii… Tante mau keluar lagiii…”

Aku tahan, biar dia duluan. Aku peluk tubuhnya erat saat dia melengkung dan menggigit bibirku.

“AARRGGHH… JILMEK LAGIIII…!”

Tubuhnya gemetar. Tangannya mencakar punggungku. Aku berhenti sebentar, tapi kontol-ku belum crott.

Tante Irma membuka mata.

“Sekali lagi ya… kali ini kamu crott di perut Tante… biar bisa kamu liatin sendiri hasil nakalmu…”

“Crott di sini ya sayang…”

Tante Irma mengelus perutnya yang halus, lalu dorong tubuhku supaya berdiri berlutut di atas kasur. Dia kembali buka kedua kakinya, dan dengan gaya misionaris terbuka, memek-nya basah menganga menungguku masuk.

Aku masukin pelan lagi. Rasa hangat itu langsung menyambut. Dia melingkarkan kakinya di pinggangku, tangannya melingkar di tengkukku, dan bibirnya nempel di telingaku.

“Kontol kamu tuh… paling enak yang Tante pernah rasain…”

Aku cium bibirnya, lalu goyang dengan ritme cepat. Kali ini gak ada pelan-pelan. Suara tubuh kami bertubrukan mengisi kamar.

Plak plak plak!

“AHHH ZIO… DALAM… GITU TERUS… TANTE MAU CROTT LAGI…!”

Aku tekan, goyang, dorong sekuat yang aku bisa. Kontol-ku seperti tertelan habis oleh memek-nya. Cairan dari sana udah muncrat-muncrat lagi, basahi semua.

Tangannya narik punggungku, bibirnya menggigit leherku. Tubuhnya kejang sekali lagi.

“AHHHH JILMEEEEEK…!”

Aku berhenti sebentar, tapi dia tetap melengkung dan menggeliat.

“Tante crott tiga kali, Zio… kamu bikin Tante jadi perempuan nakal…”

Aku bangkit. Kontol-ku yang udah mekar siap crott. Tante Irma langsung posisikan tubuhnya telentang, buka kaki lebar, dan pegang batangku.

“Kasih ke Tante, ya sayang… crottin perut Tante…”

Aku pegang batangku, goyang cepat, dan pandangan ke tubuh Tante Irma—memek-nya masih terbuka, pinggulnya masih basah, perutnya halus menunggu.

“AHHH… TANTE… AKU… CROTTTT…!”

Semprotan pertama muncrat deras. Kontol-ku meletus, putih, panas, nempel di perut dan dada bagian bawah Tante Irma. Aku pompa lagi, meledak lagi, dan cairan itu nyiprat sampai ke pinggir payudaranya.

Dia ketawa, puas.

“Liat tuh… banyak banget… kontermu rakus, tapi Tante seneng…”

Aku jatuh di sampingnya, ngos-ngosan. Dia peluk aku erat, pelan.

“Tante gak nyangka… anak kayak kamu bisa bikin Tante lupa umur…”

Kita cuma diam. Sunyi. Nafas pelan-pelan tenang. Tapi otak dan hati masih bergejolak.

“Aku… bakal inget malam ini selamanya…”

Dia kecup keningku. “Tapi jangan bilang Yusril ya…”

Aku ketawa kecil. “Jangan khawatir. Ini rahasia… kontol kita berdua.”

SELESAI.