Namaku Raka. Umur 25. Baru lulus dari jurusan desain komunikasi visual. Dulu cita-citaku sederhana: kerja di agensi, punya studio kecil, bikin poster band indie. Tapi hidup nggak selalu jalan lurus. Apalagi waktu aku buka email dan lihat satu tawaran magang yang bikin jantung deg-degan:
“Studio Editing Butuh Asisten Freelance. Fokus: Visual Sensual Konten Digital.”
Nama pengirimnya: Kirana.
Waktu aku stalk IG-nya, akun itu dikunci. Tapi bio-nya cuma satu kalimat:
“I sell what your brain can’t ignore.”
Dan ada satu tautan ke situs khusus anggota. Penuh teaser. Gambar buram. Suara samar. Tapi… efeknya luar biasa. Satu video berdurasi 37 detik bisa bikin kontol gua keras sampe berdenyut. Padahal cuma suara desahan samar diiringi lampu remang.
Itu dua minggu lalu.
Sekarang gua di apartemennya. Lantai 17, gedung yang sama dengan satuan live-streamer. Tapi Kirana beda. Dia bukan streamer biasa. Dia… raja dalam dunia sepi.
Apartemennya gelap. Tapi bukan gelap murahan. Lampu LED kuning redup memantul di rak-rak kamera dan mikrofon. Meja editing penuh harddisk. Di pojok, ada sofa panjang dengan tripod mengarah ke arah ranjang. Ada cermin besar di belakangnya. Lengkap dengan ringlight dan monitor preview.
Dan dia… duduk di situ. Pakai tanktop longgar warna putih, bra-nya samar. Celana pendek abu tipis nyangkut di paha atas. Rambut dikuncir setengah, lehernya bersih. Mata tajam, tapi senyum malas. Kirana.
“Datang juga akhirnya,” katanya pelan.
Aku berdiri kikuk di depan pintu. “Maaf, tadi sempat nyasar.”
“Wajar. Yang nyasar ke tempatku justru biasanya yang betah,” katanya. Senyumnya tipis. Tapi ucapannya nyelip kayak ranjau.
Dia bangkit, jalan pelan ke arahku. Badannya kecil, tapi bahunya kokoh. Gerakannya santai, nyaris pelan… tapi tiap langkahnya terasa seperti narik kontol gua makin keras.
“Gua butuh asisten editing,” katanya sambil duduk di meja. “Tapi bukan cuma motong video. Di sini, gua mainin emosi. Ritme. Rasa.”
Dia buka laptop, putar satu video.
Gua duduk pelan di sampingnya. Di layar, cuma keliatan kulit. Nggak jelas siapa. Tapi suara desahan… pelan, lembut, dan ritmis. Ada suara bibir bertemu. Lalu suara lidah basah. Suara napas yang ditahan. Sampai tiba-tiba—“hahh… jangan cepet… pelan aja ya… ahh…”
Gua menelan ludah. Kontol gua tegang.
“Lu tahu nggak itu siapa?” bisik Kirana sambil menoleh.
Gua geleng pelan.
Dia dekatin mulutnya ke telinga gua. “Itu gua… disedot sambil tanganku main memek sendiri…”
Deg.
“Aku nggak butuh orang pinter,” lanjutnya. “Aku butuh yang bisa tahan. Fokus. Nggak gampang goyah.”
Tangannya tiba-tiba nyentuh paha gua. Ringan. Tapi cukup buat ngebakar ujung kontol.
“Mulai malam ini, lu bantu aku edit suara dan gambar. Tapi sesekali… aku butuh tester. Buat tau timing crott-nya cocok atau enggak…”
Dia senyum kecil, lalu berdiri lagi.
“Lu kuat, Rak?”
Gua cuma bisa angguk. Padahal lutut udah lemas.
“Aku Mau Kamu Dengerin Desahanku”
Gue pikir Kirana bakal langsung suruh gue buka laptop dan kerja. Tapi enggak.
Dia jalan ke dapur. Tangannya masih pegang botol air. Badannya membelakangi gue. Daster pendeknya agak naik waktu dia ngambil gelas dari rak atas. Paha mulusnya mengkilap kena pantulan cahaya kuning. Goyangannya pelan… kayak tahu dia diliatin.
“Rak,” katanya pelan. “Pernah kerja ngedit bokep sebelumnya?”
Gue geleng. Masih gugup. Tapi jujur.
Dia nyengir sambil balik badan. “Bagus. Gua benci orang sok pinter. Di sini gua yang bikin aturan. Gua yang atur ritme… termasuk ritme kontol lu.”
Deg.
Dia jalan lagi, duduk ke karpet bundar deket speaker kecil. Ada mikrofon USB kecil di depannya. Dicolok ke laptop. Kirana buka satu file audio.
“Dengerin ini,” katanya. “Jangan liat, cukup tutup mata.”
Gue nurut. Duduk, pakai headphone.
Suara pertama yang gue denger: napas berat. Perempuan. Pelan. Teratur. Tapi basah. Lalu terdengar suara desahan: “uhh… ah… sentuh pelan… jangan buru-buru…”
Suara Kirana.
Lalu suara jilat memek, samar tapi real. “aahh… enak… terus di situ… jangan lepas…”
Gue refleks tegang. Kontol di celana makin mendesak.
Ajak Mampir Istri Temen Toge Kantor
Gue buka mata. Kirana duduk sambil merem. Kakinya disilangkan. Tangannya di paha. Tanktop-nya jatuh satu sisi, puncak dadanya keliatan dikit. Tapi dia kayak sengaja nggak benerin. Dia tahu posisi itu ngebunuh.
Dia buka mata, melirik.
“Kontol lu keras ya?”
Gue nggak jawab. Cuma bisa ngangguk pelan.
“Bagus.”
Dia berdiri, jalan ke arah meja. “Sekarang, lu duduk di kursi sini.”
Gue nurut.
“Ambil mouse, buka file ‘Raw_Vid_38’.”
Gue buka. Layar muncul. Video berdurasi 8 menit. Kirana duduk di sofa yang sama dengan lighting remang. Tapi bukan frontal. Angle-nya dari belakang. Cuma kelihatan bahu telanjang dan sedikit pantulan dari cermin di belakang.
Tapi suaranya… asli. Desahan yang dia tahan. Main memek pelan-pelan. Lalu jeda. Lalu lirih:
“Kontol itu keras ya? Tapi kamu nggak boleh crott dulu…”
Gue refleks nahan napas.
“Lu lihat bagian menit 4:42,” perintah Kirana. “Ada bagian napasku naik turun, tapi aku tahan crott-nya. Gua mau lu bikin loop audio selama 3 detik di situ. Buat teaser TikTok…”
“TikTok?” Gue melotot.
Dia ketawa kecil. “Iya. Platform biru, atau kadang Telegram. Semuanya teaser. Gua main di suara, Rak. Gua main di otak cowok. Gua nggak butuh nunjukin memek gua buat bikin orang tegang.”
Dia jalan pelan ke belakang gue. Tangannya naruh sesuatu di meja: satu botol pelumas dan tisu.
“Kalau kontol lu mau dikeluarin,” bisiknya, “minimal tunggu sampai bagian suara gua ngomong ‘tahan ya… baru tumpahin’…”
Gue udah gemeteran. Gak tahu ini kerjaan magang, atau penjebakan mental.
Tapi satu hal pasti: gue nggak pengen pulang.
Latihan Jadi “Aktor Bayangan”
Jam udah lewat tengah malam. Tapi Kirana baru mulai aktif. Katanya, “Otak cowok paling liar tuh antara jam satu sampai tiga pagi.” Gue gak tahu itu riset dari mana, tapi yang jelas, kontol gue udah keras sejak jam sebelas.
“Ayo ke ruangan sebelah,” katanya pelan.
Kami jalan lewat lorong kecil yang dipisahkan tirai beludru hitam. Di baliknya, ada ruangan kecil, lebih gelap dari ruang editing. Ada kasur tipis di lantai. Cuma satu ringlight gantung redup yang nyala di atas. Di pojok ruangan, ada mic condenser tergantung, lengkap sama filter dan soundboard kecil.
Kirana duduk di atas kasur. Tanktop-nya diganti crop-top ketat, warnanya hitam. Celana pendeknya tipis, dan waktu dia duduk bersila, gue bisa lihat garis tipis tali dalemnya naik dikit dari pinggang. Tapi dia cuek. Atau mungkin… memang disengaja.
“Gua mau bikin konten whisper erotik,” katanya.
Gue duduk di seberang. “Kayak ASMR?”
Dia nyengir. “Lebih dari itu. Gua pengen suara lu masuk juga… tapi cuma suara.”
Gue ngelirik ke mic. Jantung makin cepet.
Kirana ambil kabel XLR, nyolok ke soundcard. Lalu geser mic ke arah tengah kasur. “Kita mulai dari basic. Lu duduk di belakang gua, gua bakal ngomong. Tugas lu… nahan napas, tapi juga… responin suara gua.”
Gue nurut. Duduk di belakangnya. Bahu kami nyaris nempel.
“Kalau gua nyender, tahan ya. Jangan grogi,” katanya.
Dan dia mulai…
“Hmm… kamu suka denger suara aku? Suka pas aku bilang jangan keluar dulu? Atau pas aku bisik, ‘main memek aku pelan-pelan’…”
Suara Kirana pelan, tapi tiap kata nusuk. Lembut tapi penuh dominasi. Dia nyender ke dada gue. Tubuhnya hangat. Nafasnya lembut kena leher. Kontol gue makin keras, nahan di balik celana.
Dia lanjut:
“Tangan kamu mulai gerak ya? Pegang memek aku? Pelan… jangan cepet…”
Tangan kirinya narik tangan gue ke bawah. Tepat ke pinggulnya. Tapi dia nggak bimbing ke dalam… dia cuma lepasin, lalu bisik:
“Lu yang gerak… pelan…”
Gue gemetar, tapi kontol gue nggak bisa bohong. Tangan gue gerak sendiri, ngelewatin garis pinggul, nyentuh bagian paling panas di tubuhnya.
Memek Kirana hangat dan udah basah. Celana dalamnya tipis, tapi nggak nahan apapun. Dia gak ngeluh. Dia cuma desah… “hmm… tahan ya, kontol kamu jangan crott dulu…”
Mic terus nyala. Gue sadar, semua ini direkam. Setiap desahan. Setiap getar napas. Bahkan suara jari gue yang mulai main memek-nya, pelan tapi ritmis.
“Bagus,” katanya pelan. “Suaranya real. Timing-nya pas. Tapi belum cukup.”
Dia balik badan. Mata kami ketemu. Tatapannya datar, tapi dalem. “Gue mau coba satu sesi. Lu bantu nyusu kontol gua. Bukan buat video, cuma buat suara…”
Suaranya turun satu oktaf.
“Lu siap, Rak?”
Gue nelen ludah. Kontol gua udah keras banget. Tapi suara itu… lebih bikin gemetar daripada memek-nya.
Gue angguk. Gak bisa mikir. Gak bisa tolak. Cuma bisa tunduk… dan mulai jalan masuk ke dunia dosa suara.
Suara Desah dan Memek yang Direkam Diam-diam
“Tarik napas… buang pelan,” suara Kirana lembut, nyaris kayak hipnotis. Tapi efeknya lebih parah dari apa pun yang pernah gue rasain.
Dia duduk bersila di kasur, mic mengarah tepat ke mulutnya. Celana dalamnya udah nggak ada. Memek-nya terbuka, basah, penuh kilap. Tapi bukan itu yang paling gila.
Yang gila adalah caranya tatap gue… pelan, sabar, seperti bilang: “Lu udah di titik nggak bisa pulang.”
Gue jongkok di depannya. Kontol gue masih di balik celana, tapi udah nyaris crott. Dia angkat daguku pelan dengan dua jari.
“Lu bakal nyusu kontol gua,” bisiknya.
Gue bingung. “Kontol?”
Dia nyengir nakal. “Bibirmu ke maymayku. Tapi bukan buat gaya. Gua rekam suara lidah lu. Gua mau yang natural.”
Tangannya narik kepala gue ke arah bawah. Tapi tetap pelan. Dia nggak maksa. Dia biarkan semuanya mengalir—dan itu yang bikin makin ngedrill.
Gue mulai jilat memek-nya. Basah. Wangi sabun, tapi samar ada keringat tipis. Lidah gue muter pelan, dia ngelus rambut gue sambil sesekali desah:
“Hmm… situ… yaaahh… jangan pindah… ahh…”
Mic merekam semuanya.
Setiap slrp dan desahan direkam utuh.
“Bagus,” katanya, masih gemetar. “Timing-nya pas. Audio-nya clean. Nanti gue kasih lo denger.”
Tapi dia belum selesai.
Dia bangun, dorong gue pelan ke kasur. Duduk di atas pinggang gue. Kontol gue diteken sama memek-nya langsung—panas, lengket, dan berdenyut.
Dia goyang pelan. Sekali. Dua kali. Lalu berhenti.
“Ssshh… jangan crott dulu. Nanti timing-nya gak dapet.”
Gue nggak tahan. Gue remas pinggulnya. Tapi dia malah ketawa kecil. “Tenang. Kita main memek sampai mic-nya puas.”
Lalu dia mulai goyang lagi. Memek-nya ngelilit kontol gue kayak tahu tempatnya. Gue nggak lihat apa-apa selain lampu redup dan mata Kirana.
Matanya kosong. Tapi bibirnya senyum.
“Lu tau kenapa konten gua viral?”
Gue geleng.
“Karena suara gua. Bukan memek gua. Karena cowok nonton bokep bukan buat ngelihat. Tapi buat ngerasa.”
Dia goyang pelan lagi. Kali ini lebih dalam. Lebih basah. Gue denger suara splash kecil tiap dia turun ke pangkal kontol.
“Kalau lu suka konten kayak gini,” bisiknya di telinga gue, “lu harus denger desahan aku yang lain…”
💦 Khusus penikmat suara desah & video sensual real lokal, Kirana pernah rilis teaser dan live-nya di sini:
Tangannya mulai ngelus dada gue, naik ke leher. Kontol gue meledak. Tapi Kirana gak berhenti. Dia tahan gerakan, tapi memek-nya masih nempel.
“Crott sekarang,” bisiknya.
Dan gue pun… crott.
Mic masih nyala.
Tatapan yang Bikin Kecanduan
Pagi datang tanpa aba-aba. Matahari nyelip dari sela gorden hitam. Tapi ruangan masih dingin. Mic masih di tempatnya. Soundcard masih nyala, lampunya kedip pelan.
Gue bangun pelan-pelan. Masih telanjang. Memek Kirana ninggalin bekas lengket di perut gue. Tapi dia nggak di samping gue.
Gue bangun. Ambil celana. Jalan keluar dari studio. Suara pelan-pelan muncul dari ruang editing.
Gue ngintip.
Dia duduk di kursi putar, rambut diikat seadanya, pakai hoodie, kaki naik ke atas kursi. Ada cowok lain di depannya. Umur 30-an. Tegap. Dan… dia lagi ngancingin celananya.
Di meja, ada tripod yang masih basah. Kamera merah menyala. Kirana lihat ke layar preview. Lalu sesekali… melirik ke arah gue.
Tatapan itu…
Dia tahu gue ngelihat. Tapi dia gak nyuruh pergi. Dia cuma… menatap. Datar. Tapi dalam. Seolah bilang: “Ini duniaku. Lu cuma numpang rasa.”
Cowok itu cium pipi Kirana. Dia gak respon. Tangannya sibuk ngetik. Suaranya pelan:
“Folder tadi udah gue export. Namanya: main_sama_magang.wav
.”
Gue masuk pelan. Duduk di sofa.
“Lu nyimpen semua suara itu?” tanyaku.
“Yup.” Dia nggak lihat gue. “Gue rekam, gue simpan, gue jual. Tapi bukan buat bokep full frontal. Buat… sensasi suara.”
Dia nyambung:
“Lu pikir bokep cuma visual? Salah. Bokep yang paling bikin crott itu yang bisa bikin cowok nutup mata… dan tetep keras.”
Dia buka satu situs, dan putar audio teaser yang kami rekam semalam. Desahan gue. Lidah gue main memek-nya. Dan akhirnya: “tumpahhh…”
Gue malu. Tapi juga… bangga. Aneh.
Kirana noleh. “Kalau lu mau belajar dunia ini, belajar dari dalam. Tapi jangan baper. Di sini, semua rasa cuma buat dijual.”
Dia senyum kecil.
Gue angguk. Tapi dalam hati, gue tahu—gue udah terlalu dalam.
Dunia Tanpa Cinta, Penuh Candu
Malam berikutnya, Kirana live. Tapi bukan bareng gue. Gue cuma duduk di ruang editing, denger suara memek-nya di headphone, dan sesekali denger cowok lain desah di mic.
Tapi tatapannya… tetap ke arah kamera. Ke arah gue.
Bilang: “Lu punya rasa, gua punya kuasa.”
Dan kalau lu yang baca ini, mau tahu kayak apa konten Kirana?
Dia nggak main buka-bukaan murahan. Tapi suara, momen, dan lighting… itu yang bikin cowok goyah.
💦 Rekaman serupa Kirana, sensasi suara + lighting lokal bisa lu temuin di:
- Bokep Indo Terbaru
- Bokep Viral Terbaru
- Link Bokep — buat yang mau tau rasa dibalik rekaman tanpa muka.
Dan kalau lu denger suara desahan yang lirih tapi bikin kontol lo geter…
Bisa jadi itu suara Kirana.
Atau… cewek yang belajar darinya.