Tiga Hari Jadi Simpanan Teman Ayah

Aku masih ingat jelas aroma vila itu. Kayu, angin basah, dan aroma aftershave yang maskulin. Vila di pinggir kota itu katanya tempat pelarian Dani, teman lama ayahku yang sekarang jadi duda mapan. Tapi aku nggak nyangka, pelarianku sendiri justru berakhir… di pelukannya.

Namaku Rani. Dua puluh tahun. Mahasiswi yang katanya berprestasi, tapi minggu itu aku cuma pengen kabur. Dari dosen yang cerewet. Dari ibu tiriku. Dari semuanya.

Ayah yang sibuk kerja akhirnya nawarin: “Nginep aja dulu di vila Dani, Ran. Dia udah biasa sendiri juga, tempatnya nyaman, kamu bisa santai.”

Aku ngangguk, padahal nggak pernah benar-benar kenal Dani. Cuma ingat wajahnya waktu aku masih SMP, suka dateng ke rumah bawa rokok dan cerita soal bisnis. Tapi waktu aku liat dia sekarang—pakai kaus putih ketat dan celana pendek—aku sadar satu hal: dia udah bukan “om-om temen bokap” lagi.

Dia laki-laki. Tinggi. Dada bidang. Rahang keras. Dan waktu dia liat aku turun dari mobil, matanya jelas… nggak liat wajahku.

“Ayahmu bilang kamu butuh istirahat,” katanya sambil senyum tipis. “Tapi kamu kelihatan… cukup dewasa buat hal lain.”

Aku senyum canggung. Tapi di dalam memek-ku, ada rasa aneh. Hangat. Deg-degan. Lututku sempat goyah waktu dia bawa masuk tasku, tangannya nyenggol pahaku sedikit—entah sengaja atau nggak, tapi badanku langsung panas.

Sore itu dia ajak aku berenang. “Kolam belakang masih bersih kok. Kamu suka air, kan?”

Aku cuma bawa kaus oblong dan celana pendek. Tapi akhirnya dia pinjamin kaus putihnya. Gede, longgar, tapi tipis banget. Begitu kena air, nempel ke badan. Putingku keliatan samar. Dan aku bisa ngerasa dia ngeliatin. Bukan sekadar lirik.

Di pinggir kolam, aku pura-pura santai. Tapi tiap kali dia keluar dari air, air netes dari tubuh kekarnya, dan matanya berhenti lama di dada dan pahaku.

“Aku masih inget kamu kecil, Ran,” katanya tiba-tiba.

Aku nyengir. “Dan sekarang?”

Dia mendekat. “Sekarang kamu bukan anak kecil lagi.”

Sial. Memek-ku berdenyut. Aku senyum, tapi rasanya kayak pengen gigit bibir sendiri.

Malamnya, hujan turun. Aku duduk nonton film sendirian di sofa panjang. Dani duduk di sebelahku. Jaraknya cuma sejengkal. Di antara suara hujan dan dialog film, tiba-tiba aku ngerasa tangannya nyentuh pahaku. Lembut. Pelan. Tapi diam. Nggak geser, nggak minta izin.

Aku pura-pura tidur. Tapi memek-ku basah. Detaknya makin liar. Jantungku naik turun. Nafas Dani berat. Aku bisa ngerasa dia ngelirik aku, nyium aroma tubuhku dari dekat. Tapi dia nggak nyentuh lebih. Cuma diem.

Itu lebih nyiksa dari apapun.

Aku tidur sambil jepit paha rapat-rapat. Dan malam itu, aku mimpiin dia. Tangannya kasar, konternya tebel, dan aku minta dimasukin.

Pagi hari kedua, sinar matahari masuk lewat jendela besar. Aku bangun agak siang, dan waktu turun ke dapur… Dani udah di sana. Tanpa kaus. Cuma pakai celana pendek warna abu-abu, tipis, dan — aku nggak tahu apakah dia sadar — tapi konternya agak ngebentuk.

“Pagi, Princess,” sapanya. Suaranya berat, serak, bikin putingku keras spontan.

“Aku… kesiangan ya?” tanyaku sambil nyoba alihin pandang.

Dia senyum. “Santai aja. Gak ada jadwal di sini, kecuali satu…”

Aku nengok. “Apa?”

Dia dekati aku. Jarak tinggal beberapa jengkal. Nafasnya kena pipiku.

“Bikin aku sarapan… tapi sambil diem aja di depanku, pakai kaus yang kemarin.”

Aku ketawa gugup. Tapi itu gak berhenti di situ. Dia bantu buka lemari dapur, berdiri di belakangku — terlalu dekat. Dada bidangnya nempel ke punggungku. Tangannya bantu ambil gelas… tapi sekaligus ngerayap pelan dari pinggang ke pinggul.

Aku nggak bergerak. Tapi jantungku meledak-ledak. Memek-ku mulai denyut lagi. Basah lagi.

“Gak papa, kan?” bisiknya. “Kamu suka kan… disentuh?”

Aku cuma bisa angguk kecil. Tapi itu cukup.

Tangannya makin berani. Naik ke bawah dadaku. Jempolnya usap bagian bawah puting, pelan tapi konsisten. Aku menggigit bibir. Napasku pendek-pendek.

“Aku liat kamu semalam… udah basah sebelum aku nyentuh kamu,” katanya dingin.

Aku langsung nunduk, malu… tapi juga gak nolak.

Dia balik tubuhku. Tatap matanya tajam, dalam, bikin aku lemas.

“Kalau kamu pengen, bilang aja. Jangan pura-pura tidur.”

Lalu dia lepas kausku perlahan. Putingku langsung mengeras kena udara pagi. Dani mencium satu sisi puncak dadaku, lalu yang satu lagi, pakai lidah yang hangat dan sabar.

“Memek kamu berdenyut,” gumamnya sambil menurunkan celana pendekku.

Aku refleks nutup paha. Tapi dia jongkok. Wajahnya tepat di depan bagian paling basah dari tubuhku. Dia hembuskan napas panas ke situ.

Aku gemetar. Tangannya buka pelan. Bibirnya deket banget. Dan…

Dia jilmek.

Lidahnya mainin pelan, naik-turun, putar di ujung maymayku yang udah berdenyut deras. Aku pegang rambutnya. Pinggangku goyang sendiri. Aku nggak bisa diam, napas berat, desahan kecil mulai bocor.

“Dani… aaahh… jilatnya… jilatnya… jangan berhenti…”

Dia terusin. Pelan, tapi intens. Satu tangan pegang pahaku kuat. Satu tangan lagi main memek dari luar, masukin jari satu, lalu dua… ritmenya manis, kasar, lalu manis lagi.

Aku goyang makin liar. Pinggulku nabrak-nabrak wajahnya.

“Crott… Dani… aku… aku… aaahh—!”

Tubuhku gemetar, crott di wajahnya. Tapi dia nggak mundur. Dia jilat semuanya, bersihin sampai aku lemas di lantai dapur.

Dia berdiri, konternya tegang total. Matanya nggak berhenti liat aku telanjang di lantai.

“Aku pengen masuk… tapi belum sekarang,” katanya. “Besok. Hari terakhir. Aku mau kamu yang minta.”

Lalu dia pergi.

Dan aku cuma bisa nungging di lantai, tubuh masih nyut-nyutan, memek masih kebas, tapi… aku pengen lagi. Lebih dari tadi. Lebih liar. Lebih dalam.

“Main Memek Sambil Digendong, Lalu Masuk Lewat Anal”

Hari ketiga.

Aku bangun lebih pagi dari biasanya, tapi tubuhku masih terasa bergetar dari semalam. Seluruh memek-ku masih sensitif, bahkan kena gesekan celana dalam tipis aja udah bikin aku basah lagi. Dani belum keluar dari kamar, jadi aku jalan pelan-pelan ke dapur, lalu ke belakang… ke kamar mandi uap.

Ruangannya setengah gelap, penuh embun, kaca basah, dan aroma eucalyptus yang menusuk manja. Aku buka kaus tipisku, dan masuk pelan-pelan ke dalam kabut hangat.

Sendirian… atau kupikir begitu.

“Nyari aku?”

Suara Dani muncul dari balik uap. Ternyata dia udah di sana. Berdiri telanjang dada, tubuhnya basah oleh uap. Tatapannya beda. Matang. Penuh lapar.

“Aku… cuma mau mandi,” kataku gemetar, mencoba pura-pura kuat.

Dia dekati aku. Tangannya dingin di bahu, bibirnya mendekat ke leherku, lalu turun perlahan ke puncak dadaku. Tanpa kata. Hanya napas dan ciuman yang makin dalam.

“Aku nggak tahan lagi,” bisikku, “Masukin kontol kamu…”

Dia angkat tubuhku.

Beneran diangkat. Aku reflek melingkarkan kakiku di pinggangnya. Dan tanpa aba-aba… dia masukin kontol-nya dari depan, pelan, tapi keras. Dalam.

Aku nyaris teriak. “Aaaahh… gede banget…”

Dia gerak maju-mundur sambil tetap gendong aku, pantatku ditopang oleh tangannya, memek-ku penuh oleh konternya yang tebel dan panas.

“Bilang, kamu suka ini?” katanya pelan sambil ngegoyang.

“Aku suka… aaahh… suka banget…”

Dia tempelin punggungku ke dinding kaca, dan dorongan konternya makin liar. Suara cipratan basah memek-ku makin kenceng. Mataku berkaca, dan aku udah nggak peduli lagi.

Setelah beberapa menit, dia tarik keluar pelan, dan bisik, “Sekarang giliran dubur… kamu siap?”

Aku kaget. Tapi tubuhku udah bukan milikku. Aku cuma bisa angguk pelan.

Dia belokin tubuhku, aku bersandar ke dinding, dan pelan… dia basahi anal itu pakai ludah. Lalu masuk.

“AAAHH—! Sakit… tapi enak… enak banget…”

Pintu belakangku ketarik-tarik tiap dia dorong masuk. Sensasinya beda, lebih ketat, lebih liar, bikin aku nangis tapi juga candu.

Dia pegang pinggangku, dan mulai goyang brutal, masuk lebih dalam tiap detiknya. Badanku gemetar, tapi gak bisa nolak. Aku cakar dinding kaca, teriak histeris.

“Crott di dalem… Dani… aaah… masukin semuanya… sperma kamu…”

Dan dia crott.

Dalam. Panas. Terasa meledak di dalam pintu belakangku.

Kami sama-sama lemas. Nafas ngos-ngosan. Badanku gemetar, dan aku bersandar ke dadanya yang keras.

“Aku mau lagi… tiap hari kalau bisa… aku mau kamu jadi canduku…”

Dia cuma cium bibirku pelan. Matanya tajam.

Dan aku tahu, aku gak bisa lepas dari laki-laki ini.

Untuk cerita bokep lainnya yang bikin panas kayak cerita ini, bisa cek juga:

“Kalau Kamu Mau Tubuhku… Ambil Semuanya”

Pagi itu sepi. Nggak ada suara kopi diseduh. Nggak ada Dani di dapur. Yang ada cuma tubuhku yang masih bergetar, memek yang masih hangat, dan… rasa kosong.

Aku berjalan pelan ke halaman belakang, pakai kimono mandi yang longgar. Kulitku masih merah di beberapa tempat — bekas pelukannya, bekas dorongan di dubur. Tapi aku… nggak kenyang. Aku butuh lagi. Butuh dirinya. Butuh konternya.

Dia baru muncul jam sepuluh. Pakai kemeja hitam, wangi parfumnya nyerang sejak dari jauh. Aku berdiri di pinggir kolam renang. Dia dekati aku, pelan, tatapan tenang, tapi dingin.

“Kamu udah siap pulang?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan. “Belum.”

“Kenapa?”

Aku mendekat. Pelan. Jari-jariku buka sabuk kimono. Baju mandi itu jatuh ke lantai. Tubuhku telanjang total, dan matanya… langsung berubah.

“Aku… nggak pengen pulang sebelum kamu crott di dalam aku,” bisikku.

Tangannya langsung menarik pinggangku. Didorongnya aku ke kursi panjang pinggir kolam, lalu ditindih. Bibirnya mencium keras, kasar, penuh nafsu.

“Memek kamu udah basah dari semalam ya?”

Aku cuma bisa angguk, tubuhku udah meliuk-liuk meski baru dicium. Lalu tanpa banyak kata, dia buka resleting, dan konternya langsung masukin ke dalam.

Seketika tubuhku nendang ke atas. “AAAHHHH!”

Dia gak pakai sabar. Dorongannya panjang, dalam, kontol-nya kayak mesin bor. Aku cuma bisa teriak, desah, cakar dadanya, dan minta ditahan karena mau meledak.

“Jangan keluar dulu… tunggu aku crott bareng kamu…”

Tapi dia gak peduli. Dia makin brutal. Goyangan ranjang itu bukan lagi soal enak — ini soal penguasaan, soal jadi miliknya. Badanku dibalik, aku nungging di kursi kolam, dan dia main dari belakang. Maymayku penuh, basah, dan aku bisa rasain dia nahan-nahan biar gak crott.

“Crott, Dani… crott di dalem… aku mau maymayku dikasih susunya kamu…”

Dan dia crott.

Dalam. Mentah. Tanpa kompromi.

Hangatnya kerasa sampe ke perut. Dia tetap diam di dalam, nahan, napasnya berat. Aku bisa rasain denyut konternya masih di dalam maymayku.

Aku lemas. Badan keringetan. Rambutku acak-acakan. Tapi aku masih sempat bisik, pelan:

“Aku nggak siap punya pacar. Tapi kalau kamu cuma mau tubuhku… ambil semuanya.”

Dia tatap aku sebentar. Lalu cium keningku.

Dan pergi.

Candu Itu Nggak Hilang

Sore itu, vila sunyi.

Aku sendirian lagi. Tapi tubuhku… gak pernah sama. Maymayku masih kerasa panas, bahkan berhari-hari setelah dia pergi. Aku coba mandi, coba tidur, coba nulis di jurnal… tapi semuanya kembali ke satu hal:

Gimana rasanya saat konternya nyusu maymayku…
Gimana rasanya saat dia masukin lewat anal…
Gimana rasanya waktu dia crott mentah-mentah di dalam, dan gak bilang apa-apa.

Aku gak tahu ini cinta atau dosa. Tapi yang jelas… aku rela jadi simpanannya, asal bisa rasain lagi.

Dan kalau suatu hari dia ngajak lagi — aku gak bakal nolak.

Aku bakal buka pintu.

Buka paha.

Dan buka semuanya.